Senyuman Pemuda Langit
By Muhammad Marzuki
Cahaya mentari menembus sela-sela embun pagi yang memberikan
kehangatan dan semangat setiap jiwa yang sudah terbangun dari mimpi. Pagi yang cerah
hari itu merupakan hari pertama ku menjadi
seorang dosen di IAIN Antasari Banjarmasin. Ku pandangi langit biru yang
begitu menyejukkan mata, seolah dia juga tersenyum kepadaku. Perasaan yang
sangat bahagia ketika aku diterima disalah satu kampus terbaik di kota seribu
sungai tersebut.
Aku berangkat ke kampus dengan mengendarai motor yang sudah aku
pakai sejak pertama kali kuliah. Dengan perasaan yang berbunga-bunga, di
sepanjang perjalanan menuju kampus aku sambil bernyanyi dengan suara yang tak
kalah bagus dengan suara penyanyi lagunya. Hehee
Dunia pasti berputar...
Ada saatnya semua harus berubah...
Ingat pasti bertukar...
Kita harus siap hadapi semua...
Ikhlaskan sgalanya ...
Jalani semua yang adaa...
Di duniaa...
Kata orang ketika di pagi hari kita menyanyikan lagu kesukaan kita
dari jam 6:00-9:00 akan meningkatkan mood. Karena keasyikan aku hampir lupa
mengisi bensin yang sudah hampir habis rasanya, karena jarum penandanya sudah
digaris merah. Aku pun berhenti di tempat pengisian bensin eceran di pinggir
jalan. Ku lihat bapak penjual bensin sedang melayani pengendara lain yang sudah
terlebih dahulu singgah didepan ku. Aku merasa tidak asing melihat perawakan
pengendara yang memakai jaket kulit dan mengenakan helm hitam pekat.
“berapa pak ? “ tanya
pengendara tersebut.
“lima belas ribu dik “ Aku pun sangat mengenali suara tersebut, dan
melihat sekilas wajahnya dari samping ketika dia menyerahkan uang ke bapak
penjual bensin.
“ Za, reza.” aku menyapa dengan penuh rasa penasaran . Orang
tersebut menoleh ke arah ku dengan ekspresi wajah tersenyum kaget.
Hey “Fahmi” kami langsung bersalaman karena sudah lama
sekali tidak bertemu.
“gimana kabar mu, Mi ? “
“ penampilanmu sudah berubah
sekarang ya” tanya reza sambil menatapiku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“ahh, biasa saja Za.”
Jawabku santai.
“ kau ini Mi masih saja
seperti dulu, bicara selalu merendah.”
“ dengan pakaian dinas, penampilan rapi, dan dengan sepatu hitam
mengkilap kaya gini kamu bilang biasa, dulu kan kalau kamu kuliah tak serapi
ini”.
“ baju yang kamu pakai
seperti tanah yang sedang dilanda musim kemarau bertahun-tahun, retak- retak
tak pernah disetrika.” Hahaha.
“ jangan ungkit-ungkit cerita masa lalu Za, zaman itu kan masih
zaman perjuangan.” Jawabku sambil tertawa kecil.
“eh, tunggu. Rasanya ada
yang tidak berubah nih Mi, sahut Reza sambil melirik motorku.”
“Kenapa ?”
“ motor kamu itu rasa nya
tidak seimbang dengan penampilanmu hari ini, motor itu seharusnya lebih pas
dengan penampilanmu dulu”. Hehee. Ucap Reza sambil tertawa kecil menyindir.
“oohhh, jangan menghina kamu
Za, kenapa motor ini masih saya pakai sampai saat ini ? “motor ini banyak
kenangannya Za, sebagian sejarah hidupku, suka dan duka ada bersama motor ini.”
Jawabku tegas sambil menepuk-nepuk motorku.
“jangan bicara kenangan
segala Mi, bilang aja kamu belum bisa beli motor baru” jawabnya dengan sedikit
nada mengejek.
“Terserah kamu sajalah Za. “ Namun, dalam hati ku berkata memang aku masih
belum mampu membeli motor baru. Hehehe.
“ Ya sudah Mi, aku berangkat
kerja dulu Mi. ini lagi Buru-buru, nanti kita sambung lagi obrolannya.
Reza pun langsung
bergegas pergi, aku pun segera pergi setelah membayar uang bensin. Rasanya
senang sekali kalau sudah berjumpa dengan teman lama. Oh ya, Reza adalah teman
seperjuangan ku kuliah. Pada waktu itu, kami hidup bersama di satu atap rumah
kontrakan. “Apa yang dia makan, itu yang
aku makan”. Itu ikrar kami ketika hidup sebagai mahasiswa. Reza merupakan
mahasiswa yang bisa dibilang cerdas diantara teman-temannya dia juga aktif di
berbagai organisasi kampus baik itu yang didalam maupun yang diluar kampus.
Namun, dia berhenti kuliah ketika ayahnya meninggal karena sedang sakit-sakitan
selama berbulan-bulan. Dia pun memutuskan untuk mengakhiri masa belajarnya di
bangku kuliah pada semester 4. Kami semua sangat bersedih melihat kenyataan
yang terjadi. Karena Reza merupakan orang sangat mudah bergaul dan baik dengan
kami. Dia juga sering membuat lelucon cerdas, yang membuat kami selalu bisa
tertawa namun juga diselipkan nilai pendidikan. Kami semua, baik teman
sejurusan dan teman-teman organisasinya merasa sangat kehilangan. Aku sudah
membujuknya agar tidak berhenti kuliah karena dia sudah menjalani setengah
jalan untuk menggapai mimpi-mimpinya yang kami tulis bersama dikertas yang
tertempel di 7 titik rumah kontrakan kami dulu. Yang membuat aku sangat
bersedih pada saat itu ketika dia hendak pulang ke kampung halamannya.
“ mau kemana Za ? “ tanya ku
setelah aku membuka pintu kontrakan sepulangku dari kampus.
“ pulang kekampung halaman
Mi, bisa mati dimakan waktu aku di kota ini. “ jawab Reza tertunduk sambil
mengemas pakaian-pakaiannya.
Aku tak bisa berkata-kata apa-apa lagi pada saat itu.
Mataku berkaca-kaca pada saat itu, tampaknya Reza sudah kekeh dengan keputusan
yang dipilihnya. Setelah selesai berkemas dia pun berpamitan dengan ku.
“terimakasih Mi, aku minta rela jika ada salah” ucap Fahmi dengan
nada sendu sambil menjabat tangan ku.
“ apa yang aku makan bukan
lagi apa yang kamu makan” seketika itu aku tak mampu menahan air mataku.
Reza pun pergi dengan
motornya setelah mengucap salam. Setelah ku tutup pintu aku langsung masuk
kekamar. Terasa ada yang sangat berbeda dirumah kontrakanku saat itu.
Kertas-kertas mimpi Reza sudah tidak ada tertempel lagi di dinding kamar dan
ditempat lain. Mungkin sudah dia lepaskan ketika aku belum sampai dirumah. Ada
yang begitu membuatku sangat terharu
ketika melihat sebuah catatan kecil yang tertempel di cermin yang biasa
kami pakai untuk latihan berbicara dihadapan umum dikampus. Ada sebuah catatan
kecil yang sangat membuat hati ku makin bersedih kehilangan sosok seorang
sahabat. Disitu tertulis ...
Untuk langit
Cerita ku sudah usai
Aku tidak bisa memetik impian-impianku yang menggantung padamu
Aku gagal
Ketika itu, pesan yang disampaikan Reza seperti terbaca oleh
langit, karena tak lama setelah Fahmi pergi, terjadi hujan gerimis. Ibaratnya,
langit menangis ketika melihat Reza yang terjatuh ketika sedang berusaha
menggapai impian-impiannya yang tergantung dilangit. Mungkin itu hanya
kebetulan atau memang sudah takdir Tuhan.
Aku sangat sedih
mengingat cerita itu setelah bertemu sahabatku Reza ditempat tadi. Namun, kami
tidak bisa bercerita banyak karena kelihatannya dia sedang terburu-buru sekali.
Padahal sangat banyak pertanyaan yang ingin aku sampaikan kepadanya.
Tepat pukul 8:20
aku sampai di kampus dan langsung memarkirkan motorku di parkir karyawan. Ada
sesuatu yang berbeda ketika aku datang kekampus, aku yang sekarang datang
kekampus sebagai seorang dosen. Aku
langsung berjalan menuju ruang kelas dengan rasa penuh semangat. Setiap
mahasiswa yang berpapasan denganku pasti ku berikan senyuman. Ditengah jalan
aku juga berpapasan dengan seorang mahasiswi cantik dengan baju jubah
sasirangan dan dibalut dengan jilbab yang panjang kali lebar berwarna hitam
pekat. Menurutku, Jika wanita menggunakan pakaian yang syar’i, sisi keanggunan
seorang wanita itu jadi jelas terlihat. Mereka memang sebaik-baik perhiasan
dunia. Mereka memang bidadari-bidadari dunia yang tak bersayap.
mahasiswi tersebut tergesa-gesa mengayunkan sepedanya dengan
kecepatan tinggi. Bahkan dia hampir menabrakku secara tidak sengaja karena
jalan kampus pada saat itu sedang dipadati lalu-lalang mahasiswa, baik itu
mahasiswa yang berjalan kaki ataupun yang menggunakan kendaraan. Dia pun
berhenti sejenak, dan menoleh kearahku karena ia hampir menyerimpitku.
“maaf kak ” ucapnya dengan sopan dihiasa sedikit senyuman.
“ iya, tidak apa-apa dik” jawabku juga dengan penuh senyuman,
mengisyaratkan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan diriku.
Setelah itu, Dia pun langsung bergegas pergi. Aku pun berjalan lagi
menuju lokal kelas tempat ku mengajar sambil tertawa kecil karena terpikir
ucapan mahasiswi tadi yang memanggil ku “kak”. “hehehe, mungkin wajahku ini masih wajah
mahasiswa yaa, sampai-sampai masih dipanggil kakak. “ Pikirku dalam hati sambil
tersenyum.
Aku masuk ke ruang
kelas dengan perasaan sedikit deg-degan, maklum hari pertama jadi seorang
dosen. Namun, perasaan gugup itu bisa aku atasi karena ketika aku jadi
mahasiswa, baik itu ketika S1 ataupun S2 sudah banyak belajar tentang bagaimana
berbicara didepan umum. Dulu, Aku juga
sering berlatih dicermin di rumah kontrakanku.
Aku awali dengan
mengucap salam, yang disahuti dengan
penuh semangat oleh mahasiswa/mahasiswi. Aku merperkenalkan diriku secara
singkat dan jelas dan disimak dengan baik oleh para mahsiswa.
“ disini mahasiswa semester
3 semua ya ?” tanyaku .
“iya pak ” jawab mahasiswa
yang wajahnya kelihatan lucu yang duduk di barisan belakang. “baiklah disini
bapak akan mengajar mata kuliah sosiologi. Hari ini kan pertemuan pertama,
biasanya ngapain ?” tanya ku.
“perkenalan aja pak” jawab
mahasiswa yang wajahnya keliahatan lucu tadi.
“oke ” “ ketika saya
mengabsen nama kalian silakan kenalkan diri kalian dengan singkat, jelas, dan
padat.”
Satu persatu para
mahasiswa memperkenalkan diri mereka masing-masing. Mereka datang dari berbagai
daerah. Namun, ada satu orang yang tidak hadir pada hari itu. Namanya Mauizatil
Hasanah, teman-temannya biasa memanggilnya Sanah. Padahal Dia merupakan
mahasiswi yang rajin dan selalu mendapatkan IPK tertinggi dikelasnya tapi entah
kenapa hari ini dia tidak bisa berhadir.
“ada yang tahu kemana Si Sanah ?” tanya ku.
Seorang mahasiswi menjawab “
tadi pagi dia padahal sudah ada dikelas Pak, dia duduk dikursi sambil baca
buku. Tapi tiba-tiba ada yang menelponnya, dari bahasa tubuhnya kelihatannya
ada yang darurat Pak.”
Perkenalan sudah
selesai, namun masih tersisa waktu 30 menit. Aku sedikit memberikan penjelasan
tentang sesuatu yang berhubungan dengan mata kuliah sosiologi. Ku jelasakan
sedikit dengan memberikan kisah-kisah inspirasi yang berhubungan dengan
kepedulian sosial. Para mahasiswa kelihatan sangat menyimak sekali ceritaku.
“Pak, ini ada SMS
dari Sanah, saya bacakan ya Pak”. Tolong
bilang sama pengajar mata kuliah hari ini saya mohon maaf karena tidak
mengikuti mata kuliah beliau, dikarenakan
kakak saya kecelakaan dan kondisinya kritis. Kalian ada yang golongan
darah AB gak.... dirumah sakit kehabisan stok. Kalau ada yang tidak keberatan
mendonorkan darahnya, agar secepatnya bisa ke RSUD Ulin. Terimakasih..
Suasana kelas pun jadi gaduh, masing-masing mahasiswa berbicara
satu sama lain tanpa terdengar jelas apa yang mereka bicarakan.
“Jadi, disini siapa yang ada golongan darah AB ?” tanya ku
untuk mengheningkan suasana. Ada 1 orang mahasiswa dan 1 orang mahasiswi yang
mengacungkan tangan.
“kalau tidak keberatan mendonorkan darah, ayo kita ke rumah sakit
kebetulan golongan darah saya AB.” Tapi hanya satu orang laki-laki yang
bersedia mendonorkan darahnya karena kondisi badan mahasiswi yang
satunya sedang kurang sehat. Kami pun bergegas pergi ke Rumah Sakit.
Aku dan Fendi
salah seorang mahasiswa menuju ruangan UGD setelah aku menelpon Sanah.
“ hey, Sanah.” Fendi menyapa seseorang perempuan yang duduk dikursi
tunggu UGD.
“ Dia yang bernama Sanah ?” tanyaku kepada Fendi.
“iya Pak, dia cantik kan Pak.” Jawab Fendi sambil tertawa nyeleneh.
Aku terkejut
karena Sanah adalah mahasiswi yang hampir menabrakku dengan sepedanya tadi
pagi.
“Fendi, ini siapa ? tanya Sanah.
“beliau dosen mata kuliah Sosiologi kita.”
“ohh “ Sanah tertunduk malu.
“ maaf untuk kejadian tadi
pagi pak.” Ucap sanah dengan tertunduk dan tersenyum malu. “tidak apa-apa “ jawabku
santai.
Sanah mengantar kami ke ruangan donor darah.
“terimakasih banyak Pak, Fendi ,karena sudah bersedia membantu
kakak saya.”
“ Khususnya bapak, padahal
kita belum kenal sama sekali.” “saya sebagai dosen pengajar mata kuliah
sosiologi sudah sepatutnya peduli dengan sesama yang sedang memerlukan
pertolongan.”
Setelah aku dan
Fendi keluar dari ruangan donor darah. Kami tidak melihat lagi batang hidung
Sanah didepan ruangan perawatan kakaknya. Kami pun bergegas menuju ruangan
perawatan kakaknya Sanah. Kami melihat dari jendela kaca ada satu orang Dokter
dan Perawat yang berdiri dihadapan pasien yang tubuhnya sudah tertutup kain
putih, disana juga ada Sanah yang sedang tertunduk menangis. Kami mengetuk
pintu dan dipersilahkan masuk oleh dokter. Aku melihat Sanah sangat bersedih,
mulutnya tak berbicara namun airmatanya bercucuran deras membasahi pipinya.
“Ikhlaskan kakakmu sanah, ini pasti adalah pilihan terbaik dari
Allah untukmu. Maafkan kami yang datang terlambat untuk mendonorkan darah” aku
mencoba untuk memotivasinya namun itu tetap tidak mampu mengubah tangisnya
menjadi senyuman. Fendi pun hanya terdiam melihat kenyataan yang harus diterima
Sanah.
“Rasanya sangat berat untukku mengikhlaskan senyuman ini Pak.” Ucap
sanah memecah keheningan sambil tangannya membuka penutup wajah kakaknya yang
sudah meninggal.
“Subhanallah.” aku langsung bertasbih melihat wajah kakaknya yang
meninggal dalam kondisi tersenyum. Dibalik kekagumanku aku juga terkejut
melihat orang yang terbaring meniggalkan senyuman itu. Aku sangat mengenali
wajah tersebut, wajah orang yang masih belum hilang dipikiranku. Mataku pun tak
mampu menahan airmata yang ingin keluar dari persembunyiannya.
“kenapa Bapak menangis ? tanya Sanah.
“Reza ini kakakmu ? aku
balik bertanya.
“Iya Pak, nama kakakku Reza. Bapak kenal ? ”
“Kakakmu ini adalah sahabat Bapak ketika kuliah, dia merupakan
sosok inspirasi dan juga sering memotivasi ketika Bapak sedang tertimpa masalah
pada zaman kuliah.” Sanah jadi terkejut mendengar ceritaku.
“Oh..jadi Bapak yang bernama Fahmi, kakakku pernah bercerita
tentang Bapak.” Kata Sanah dengan penuh
semangat.
“Setelah Ayah meninggal Kak Reza bekerja keras untuk menafkahi
keluarga, karena Ibu juga sakit-sakitan sepeninggal Ayah. Aku bisa kuliah di
kota ini pun dari hasil keringat Kak Reza. Tanpa meminta, setiap bulan Kak reza
selalu mengirimkan uang yang bagiku sudah lebih dari cukup untuk keperluanku
kuliah. Aku selalu ingin meraih prestasi dikampus agar perjuangan dan lelah Kak
reza tidak sia-sia. Setiap perlombaan aku ikuti agar jika aku juara, uang nya
bisa membeli buku dan mengurangi beban kak Reza. Aku juga sangat serius dalam
belajar supaya bisa mendapatkan beasiswa. Dia adalah sayapku, sayap yang
membuatku bisa terbang setinggi ini. Sebelum aku kekampus pagi tadi, Kak reza mengirimiku
SMS nasehat yang sangat dalam maknanya bagiku. Dan aku tidak menyangka ternyata
itu adalah nasehat terakhirnya untuk berpamitan denganku. Sanah menghidupkan HP
nya dan membacakan isi SMS kakaknya. Kami pun mendengarkan dengan seksama dan
sesaat suasana jadi hening.
Dari langit
Ceritamu baru dimulai
Kamu pasti bisa memetik impian-impian kakak yang masih tergantung
dilangit
Kamu pasti berhasil
Sayapmu takkan pernah patah
” Sanah bercerita dihiasi dengan airmatanya yang bercucuran tiada
henti. Kami yang ada diruangan itu pun tak mampu menahan untuk tidak menangis
mendengar kisah mengharukan itu.
Aku mencoba memberikan motivasi kepada Sanah.
“kamu jangan berhenti kuliah Sanah, Aku akan menanggung semua
keperluan kuliahmu. Jangan kamu kecewakan kakakmu, seperti yang sudah ia
katakan bahwa sayapmu takkan pernah patah apapun yang terjadi. Kakakmu pasti
bahagia dilangit sana, dia sudah melebihi apa yang dicita-citakannya, dia sudah
berada diatas langit, dan dia sudah berjalan diatas impian-impiannya. Kakakmu,
Reza akan tersenyum diantara bintang-bintang jika kamu menjadi sukses. Jika
kamu patahkan sayapmu kamu tidak akan bisa terbang keatas langit sana untuk
bertemu dengan kakakmu. Dan kamu tidak akan mendapatkan senyuman dari langit.”
Aku bercerita dengan penuh
penghayatan dan penuh pengharapan agar Sanah mau menerima tawaranku.
“Terimakasih Pak, jangan repot-repot. Saya tidak ingin membebani
Bapak” ucap Sanah dengan nada menolak.
“tolong jangan tolak tawaran Bapak, Sanah. Anggap saja ini balas
budi ku kepada kakakmu yang sangat banyak membantuku pada masalalu. Dunia
pendidikan tak boleh kehilangan sosok seperti kamu, cukuplah dimasa lalu langit
kehilangan salah satu bintangnya, ketika kakakmu Reza berhenti kuliah.” Aku
terus berusaha membujuk Sanah, sampai akhirnya dia menerima tawaranku setelah
berpikir sedikit lama untuk mempertimbangkannya.
“Baiklah Pak, walaupun kita baru kenal. Tapi karena Bapak adalah sahabat
Kak Reza pasti Bapak juga orang yang luar biasa”. Ucap Sanah sambil tersenyum
kepadaku.
Aku sangat senang sekali mendengar jawaban Sanah. Dia berjanji
untuk belajar bersungguh-sungguh agar bisa mendapatkan beasiswa dan juga ia
ingin mencari pekerjaan sampingan untuk mengisi waktu kosong agar bisa tidak
terlalu membebaniku dalam mencukupi keperluannya. Sanah ingin terbang lebih
tinggi walaupun angin yang akan dia hadapi akan lebih kencang. Dia tak ingin
kehilangan senyuman yang datang dari langit .