Rabu, 29 Maret 2017

Senyuman Pemuda Langit

Senyuman Pemuda Langit
By Muhammad Marzuki
Cahaya mentari menembus sela-sela embun pagi yang memberikan kehangatan dan semangat setiap jiwa yang sudah terbangun dari mimpi. Pagi yang cerah hari itu merupakan hari pertama ku menjadi  seorang dosen di IAIN Antasari Banjarmasin. Ku pandangi langit biru yang begitu menyejukkan mata, seolah dia juga tersenyum kepadaku. Perasaan yang sangat bahagia ketika aku diterima disalah satu kampus terbaik di kota seribu sungai tersebut.
Aku berangkat ke kampus dengan mengendarai motor yang sudah aku pakai sejak pertama kali kuliah. Dengan perasaan yang berbunga-bunga, di sepanjang perjalanan menuju kampus aku sambil bernyanyi dengan suara yang tak kalah bagus dengan suara penyanyi lagunya. Hehee
Dunia pasti berputar...
Ada saatnya semua harus berubah...
Ingat pasti bertukar...
Kita harus siap hadapi semua...
Ikhlaskan sgalanya ...
Jalani semua yang adaa...
Di duniaa...
Kata orang ketika di pagi hari kita menyanyikan lagu kesukaan kita dari jam 6:00-9:00 akan meningkatkan mood. Karena keasyikan aku hampir lupa mengisi bensin yang sudah hampir habis rasanya, karena jarum penandanya sudah digaris merah. Aku pun berhenti di tempat pengisian bensin eceran di pinggir jalan. Ku lihat bapak penjual bensin sedang melayani pengendara lain yang sudah terlebih dahulu singgah didepan ku. Aku merasa tidak asing melihat perawakan pengendara yang memakai jaket kulit dan mengenakan helm hitam pekat.
 “berapa pak ? “ tanya pengendara tersebut.
“lima belas ribu dik “ Aku pun sangat mengenali suara tersebut, dan melihat sekilas wajahnya dari samping ketika dia menyerahkan uang ke bapak penjual bensin.
“ Za, reza.” aku menyapa dengan penuh rasa penasaran . Orang tersebut menoleh ke arah ku dengan ekspresi wajah tersenyum kaget.
 Hey “Fahmi”  kami langsung bersalaman karena sudah lama sekali tidak bertemu.
“gimana kabar mu, Mi ? “
 “ penampilanmu sudah berubah sekarang ya” tanya reza sambil menatapiku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
 “ahh, biasa saja Za.” Jawabku santai.
 “ kau ini Mi masih saja seperti dulu, bicara selalu merendah.”
“ dengan pakaian dinas, penampilan rapi, dan dengan sepatu hitam mengkilap kaya gini kamu bilang biasa, dulu kan kalau kamu kuliah tak serapi ini”.
 “ baju yang kamu pakai seperti tanah yang sedang dilanda musim kemarau bertahun-tahun, retak- retak tak pernah disetrika.”  Hahaha.
“ jangan ungkit-ungkit cerita masa lalu Za, zaman itu kan masih zaman perjuangan.” Jawabku sambil tertawa kecil.
 “eh, tunggu. Rasanya ada yang tidak berubah nih Mi, sahut Reza sambil melirik motorku.”
 “Kenapa ?”
 “ motor kamu itu rasa nya tidak seimbang dengan penampilanmu hari ini, motor itu seharusnya lebih pas dengan penampilanmu dulu”. Hehee. Ucap Reza sambil tertawa kecil menyindir.
 “oohhh, jangan menghina kamu Za, kenapa motor ini masih saya pakai sampai saat ini ? “motor ini banyak kenangannya Za, sebagian sejarah hidupku, suka dan duka ada bersama motor ini.” Jawabku tegas sambil menepuk-nepuk motorku.
 “jangan bicara kenangan segala Mi, bilang aja kamu belum bisa beli motor baru” jawabnya dengan sedikit nada mengejek.
 “Terserah  kamu sajalah Za. “  Namun, dalam hati ku berkata memang aku masih belum mampu membeli motor baru. Hehehe.
 “ Ya sudah Mi, aku berangkat kerja dulu Mi. ini lagi Buru-buru, nanti kita sambung lagi obrolannya.
            Reza pun langsung bergegas pergi, aku pun segera pergi setelah membayar uang bensin. Rasanya senang sekali kalau sudah berjumpa dengan teman lama. Oh ya, Reza adalah teman seperjuangan ku kuliah. Pada waktu itu, kami hidup bersama di satu atap rumah kontrakan. “Apa yang dia makan, itu yang aku makan”. Itu ikrar kami ketika hidup sebagai mahasiswa. Reza merupakan mahasiswa yang bisa dibilang cerdas diantara teman-temannya dia juga aktif di berbagai organisasi kampus baik itu yang didalam maupun yang diluar kampus. Namun, dia berhenti kuliah ketika ayahnya meninggal karena sedang sakit-sakitan selama berbulan-bulan. Dia pun memutuskan untuk mengakhiri masa belajarnya di bangku kuliah pada semester 4. Kami semua sangat bersedih melihat kenyataan yang terjadi. Karena Reza merupakan orang sangat mudah bergaul dan baik dengan kami. Dia juga sering membuat lelucon cerdas, yang membuat kami selalu bisa tertawa namun juga diselipkan nilai pendidikan. Kami semua, baik teman sejurusan dan teman-teman organisasinya merasa sangat kehilangan. Aku sudah membujuknya agar tidak berhenti kuliah karena dia sudah menjalani setengah jalan untuk menggapai mimpi-mimpinya yang kami tulis bersama dikertas yang tertempel di 7 titik rumah kontrakan kami dulu. Yang membuat aku sangat bersedih pada saat itu ketika dia hendak pulang ke kampung halamannya.
 “ mau kemana Za ? “ tanya ku setelah aku membuka pintu kontrakan sepulangku dari kampus.
 “ pulang kekampung halaman Mi, bisa mati dimakan waktu aku di kota ini. “ jawab Reza tertunduk sambil mengemas pakaian-pakaiannya.
            Aku tak bisa berkata-kata apa-apa lagi pada saat itu. Mataku berkaca-kaca pada saat itu, tampaknya Reza sudah kekeh dengan keputusan yang dipilihnya. Setelah selesai berkemas dia pun berpamitan dengan ku.
“terimakasih Mi, aku minta rela jika ada salah” ucap Fahmi dengan nada sendu sambil menjabat tangan ku.
 “ apa yang aku makan bukan lagi apa yang kamu makan” seketika itu aku tak mampu menahan air mataku.
 Reza pun pergi dengan motornya setelah mengucap salam. Setelah ku tutup pintu aku langsung masuk kekamar. Terasa ada yang sangat berbeda dirumah kontrakanku saat itu. Kertas-kertas mimpi Reza sudah tidak ada tertempel lagi di dinding kamar dan ditempat lain. Mungkin sudah dia lepaskan ketika aku belum sampai dirumah. Ada yang begitu membuatku sangat terharu  ketika melihat sebuah catatan kecil yang tertempel di cermin yang biasa kami pakai untuk latihan berbicara dihadapan umum dikampus. Ada sebuah catatan kecil yang sangat membuat hati ku makin bersedih kehilangan sosok seorang sahabat. Disitu tertulis ...
Untuk langit
Cerita ku sudah usai
Aku tidak bisa memetik impian-impianku yang menggantung padamu
Aku gagal
Ketika itu, pesan yang disampaikan Reza seperti terbaca oleh langit, karena tak lama setelah Fahmi pergi, terjadi hujan gerimis. Ibaratnya, langit menangis ketika melihat Reza yang terjatuh ketika sedang berusaha menggapai impian-impiannya yang tergantung dilangit. Mungkin itu hanya kebetulan atau memang sudah takdir Tuhan.
            Aku sangat sedih mengingat cerita itu setelah bertemu sahabatku Reza ditempat tadi. Namun, kami tidak bisa bercerita banyak karena kelihatannya dia sedang terburu-buru sekali. Padahal sangat banyak pertanyaan yang ingin aku sampaikan kepadanya.
            Tepat pukul 8:20 aku sampai di kampus dan langsung memarkirkan motorku di parkir karyawan. Ada sesuatu yang berbeda ketika aku datang kekampus, aku yang sekarang datang kekampus sebagai  seorang dosen. Aku langsung berjalan menuju ruang kelas dengan rasa penuh semangat. Setiap mahasiswa yang berpapasan denganku pasti ku berikan senyuman. Ditengah jalan aku juga berpapasan dengan seorang mahasiswi cantik dengan baju jubah sasirangan dan dibalut dengan jilbab yang panjang kali lebar berwarna hitam pekat. Menurutku, Jika wanita menggunakan pakaian yang syar’i, sisi keanggunan seorang wanita itu jadi jelas terlihat. Mereka memang sebaik-baik perhiasan dunia. Mereka memang bidadari-bidadari dunia yang tak bersayap.
mahasiswi tersebut tergesa-gesa mengayunkan sepedanya dengan kecepatan tinggi. Bahkan dia hampir menabrakku secara tidak sengaja karena jalan kampus pada saat itu sedang dipadati lalu-lalang mahasiswa, baik itu mahasiswa yang berjalan kaki ataupun yang menggunakan kendaraan. Dia pun berhenti sejenak, dan menoleh kearahku karena ia hampir menyerimpitku.
“maaf kak ” ucapnya dengan sopan dihiasa sedikit senyuman.
“ iya, tidak apa-apa dik” jawabku juga dengan penuh senyuman, mengisyaratkan bahwa tidak terjadi apa-apa dengan diriku.
Setelah itu, Dia pun langsung bergegas pergi. Aku pun berjalan lagi menuju lokal kelas tempat ku mengajar sambil tertawa kecil karena terpikir ucapan mahasiswi tadi yang memanggil ku “kak”.  “hehehe, mungkin wajahku ini masih wajah mahasiswa yaa, sampai-sampai masih dipanggil kakak. “ Pikirku dalam hati sambil tersenyum.
            Aku masuk ke ruang kelas dengan perasaan sedikit deg-degan, maklum hari pertama jadi seorang dosen. Namun, perasaan gugup itu bisa aku atasi karena ketika aku jadi mahasiswa, baik itu ketika S1 ataupun S2 sudah banyak belajar tentang bagaimana berbicara didepan umum. Dulu,  Aku juga sering berlatih dicermin di rumah kontrakanku.
            Aku awali dengan mengucap salam,  yang disahuti dengan penuh semangat oleh mahasiswa/mahasiswi. Aku merperkenalkan diriku secara singkat dan jelas dan disimak dengan baik oleh para mahsiswa.
 “ disini mahasiswa semester 3 semua ya ?” tanyaku .
 “iya pak ” jawab mahasiswa yang wajahnya kelihatan lucu yang duduk di barisan belakang. “baiklah disini bapak akan mengajar mata kuliah sosiologi. Hari ini kan pertemuan pertama, biasanya ngapain ?” tanya ku.
 “perkenalan aja pak” jawab mahasiswa yang wajahnya keliahatan lucu tadi.
 “oke ” “ ketika saya mengabsen nama kalian silakan kenalkan diri kalian dengan singkat, jelas, dan padat.”
            Satu persatu para mahasiswa memperkenalkan diri mereka masing-masing. Mereka datang dari berbagai daerah. Namun, ada satu orang yang tidak hadir pada hari itu. Namanya Mauizatil Hasanah, teman-temannya biasa memanggilnya Sanah. Padahal Dia merupakan mahasiswi yang rajin dan selalu mendapatkan IPK tertinggi dikelasnya tapi entah kenapa hari ini dia tidak bisa berhadir.
“ada yang tahu kemana Si Sanah ?” tanya ku.
 Seorang mahasiswi menjawab “ tadi pagi dia padahal sudah ada dikelas Pak, dia duduk dikursi sambil baca buku. Tapi tiba-tiba ada yang menelponnya, dari bahasa tubuhnya kelihatannya ada yang darurat Pak.”
            Perkenalan sudah selesai, namun masih tersisa waktu 30 menit. Aku sedikit memberikan penjelasan tentang sesuatu yang berhubungan dengan mata kuliah sosiologi. Ku jelasakan sedikit dengan memberikan kisah-kisah inspirasi yang berhubungan dengan kepedulian sosial. Para mahasiswa kelihatan sangat menyimak sekali ceritaku.
            “Pak, ini ada SMS dari Sanah, saya bacakan ya Pak”.  Tolong bilang sama pengajar mata kuliah hari ini saya mohon maaf karena tidak mengikuti mata kuliah beliau, dikarenakan  kakak saya kecelakaan dan kondisinya kritis. Kalian ada yang golongan darah AB gak.... dirumah sakit kehabisan stok. Kalau ada yang tidak keberatan mendonorkan darahnya, agar secepatnya bisa ke RSUD Ulin. Terimakasih..
            Suasana kelas pun jadi gaduh, masing-masing mahasiswa berbicara satu sama lain tanpa terdengar jelas apa yang mereka bicarakan.
“Jadi, disini siapa yang ada golongan darah AB ?” tanya ku untuk mengheningkan suasana. Ada 1 orang mahasiswa dan 1 orang mahasiswi yang mengacungkan tangan.
“kalau tidak keberatan mendonorkan darah, ayo kita ke rumah sakit kebetulan golongan darah saya AB.” Tapi hanya satu orang laki-laki yang bersedia mendonorkan darahnya karena kondisi badan mahasiswi yang satunya sedang kurang sehat. Kami pun bergegas pergi ke Rumah Sakit.
            Aku dan Fendi salah seorang mahasiswa menuju ruangan UGD setelah aku menelpon Sanah.
“ hey, Sanah.” Fendi menyapa seseorang perempuan yang duduk dikursi tunggu UGD.
“ Dia yang bernama Sanah ?” tanyaku kepada Fendi.
“iya Pak, dia cantik kan Pak.” Jawab Fendi sambil tertawa nyeleneh.
            Aku terkejut karena Sanah adalah mahasiswi yang hampir menabrakku dengan sepedanya tadi pagi.
“Fendi, ini siapa ? tanya Sanah.
“beliau dosen mata kuliah Sosiologi kita.”
“ohh “ Sanah tertunduk malu.
 “ maaf untuk kejadian tadi pagi pak.” Ucap sanah dengan tertunduk dan tersenyum malu. “tidak apa-apa “ jawabku santai.
            Sanah mengantar kami ke ruangan donor darah.
“terimakasih banyak Pak, Fendi ,karena sudah bersedia membantu kakak saya.”
 “ Khususnya bapak, padahal kita belum kenal sama sekali.” “saya sebagai dosen pengajar mata kuliah sosiologi sudah sepatutnya peduli dengan sesama yang sedang memerlukan pertolongan.”
            Setelah aku dan Fendi keluar dari ruangan donor darah. Kami tidak melihat lagi batang hidung Sanah didepan ruangan perawatan kakaknya. Kami pun bergegas menuju ruangan perawatan kakaknya Sanah. Kami melihat dari jendela kaca ada satu orang Dokter dan Perawat yang berdiri dihadapan pasien yang tubuhnya sudah tertutup kain putih, disana juga ada Sanah yang sedang tertunduk menangis. Kami mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk oleh dokter. Aku melihat Sanah sangat bersedih, mulutnya tak berbicara namun airmatanya bercucuran deras membasahi pipinya.
“Ikhlaskan kakakmu sanah, ini pasti adalah pilihan terbaik dari Allah untukmu. Maafkan kami yang datang terlambat untuk mendonorkan darah” aku mencoba untuk memotivasinya namun itu tetap tidak mampu mengubah tangisnya menjadi senyuman. Fendi pun hanya terdiam melihat kenyataan yang harus diterima Sanah.
“Rasanya sangat berat untukku mengikhlaskan senyuman ini Pak.” Ucap sanah memecah keheningan sambil tangannya membuka penutup wajah kakaknya yang sudah meninggal.
“Subhanallah.” aku langsung bertasbih melihat wajah kakaknya yang meninggal dalam kondisi tersenyum. Dibalik kekagumanku aku juga terkejut melihat orang yang terbaring meniggalkan senyuman itu. Aku sangat mengenali wajah tersebut, wajah orang yang masih belum hilang dipikiranku. Mataku pun tak mampu menahan airmata yang ingin keluar dari persembunyiannya.
“kenapa Bapak menangis ? tanya Sanah.
“Reza  ini kakakmu ? aku balik bertanya.
“Iya Pak, nama kakakku Reza. Bapak kenal ? ”
“Kakakmu ini adalah sahabat Bapak ketika kuliah, dia merupakan sosok inspirasi dan juga sering memotivasi ketika Bapak sedang tertimpa masalah pada zaman kuliah.” Sanah jadi terkejut mendengar ceritaku.
“Oh..jadi Bapak yang bernama Fahmi, kakakku pernah bercerita tentang Bapak.”  Kata Sanah dengan penuh semangat.
“Setelah Ayah meninggal Kak Reza bekerja keras untuk menafkahi keluarga, karena Ibu juga sakit-sakitan sepeninggal Ayah. Aku bisa kuliah di kota ini pun dari hasil keringat Kak Reza. Tanpa meminta, setiap bulan Kak reza selalu mengirimkan uang yang bagiku sudah lebih dari cukup untuk keperluanku kuliah. Aku selalu ingin meraih prestasi dikampus agar perjuangan dan lelah Kak reza tidak sia-sia. Setiap perlombaan aku ikuti agar jika aku juara, uang nya bisa membeli buku dan mengurangi beban kak Reza. Aku juga sangat serius dalam belajar supaya bisa mendapatkan beasiswa. Dia adalah sayapku, sayap yang membuatku bisa terbang setinggi ini. Sebelum aku kekampus pagi tadi, Kak reza mengirimiku SMS nasehat yang sangat dalam maknanya bagiku. Dan aku tidak menyangka ternyata itu adalah nasehat terakhirnya untuk berpamitan denganku. Sanah menghidupkan HP nya dan membacakan isi SMS kakaknya. Kami pun mendengarkan dengan seksama dan sesaat suasana jadi hening.
Dari langit
Ceritamu baru dimulai
Kamu pasti bisa memetik impian-impian kakak yang masih tergantung dilangit
Kamu pasti berhasil
Sayapmu takkan pernah patah
” Sanah bercerita dihiasi dengan airmatanya yang bercucuran tiada henti. Kami yang ada diruangan itu pun tak mampu menahan untuk tidak menangis mendengar kisah mengharukan itu.
Aku mencoba memberikan motivasi kepada Sanah.
“kamu jangan berhenti kuliah Sanah, Aku akan menanggung semua keperluan kuliahmu. Jangan kamu kecewakan kakakmu, seperti yang sudah ia katakan bahwa sayapmu takkan pernah patah apapun yang terjadi. Kakakmu pasti bahagia dilangit sana, dia sudah melebihi apa yang dicita-citakannya, dia sudah berada diatas langit, dan dia sudah berjalan diatas impian-impiannya. Kakakmu, Reza akan tersenyum diantara bintang-bintang jika kamu menjadi sukses. Jika kamu patahkan sayapmu kamu tidak akan bisa terbang keatas langit sana untuk bertemu dengan kakakmu. Dan kamu tidak akan mendapatkan senyuman dari langit.”
 Aku bercerita dengan penuh penghayatan dan penuh pengharapan agar Sanah mau menerima tawaranku.
“Terimakasih Pak, jangan repot-repot. Saya tidak ingin membebani Bapak” ucap Sanah dengan nada menolak.
“tolong jangan tolak tawaran Bapak, Sanah. Anggap saja ini balas budi ku kepada kakakmu yang sangat banyak membantuku pada masalalu. Dunia pendidikan tak boleh kehilangan sosok seperti kamu, cukuplah dimasa lalu langit kehilangan salah satu bintangnya, ketika kakakmu Reza berhenti kuliah.” Aku terus berusaha membujuk Sanah, sampai akhirnya dia menerima tawaranku setelah berpikir sedikit lama untuk mempertimbangkannya.
“Baiklah Pak, walaupun kita baru kenal. Tapi karena Bapak adalah sahabat Kak Reza pasti Bapak juga orang yang luar biasa”. Ucap Sanah sambil tersenyum kepadaku.
Aku sangat senang sekali mendengar jawaban Sanah. Dia berjanji untuk belajar bersungguh-sungguh agar bisa mendapatkan beasiswa dan juga ia ingin mencari pekerjaan sampingan untuk mengisi waktu kosong agar bisa tidak terlalu membebaniku dalam mencukupi keperluannya. Sanah ingin terbang lebih tinggi walaupun angin yang akan dia hadapi akan lebih kencang. Dia tak ingin kehilangan senyuman yang datang dari langit .