“Al-‘ilmu
fi Ash-shuduur, Laa fii as-sutuur” (Ilmu itu di
dalam dada, bukan didalam tulisan)
Suatu ketika Imam Al-Ghazali mengadakan perjalanan
jauh untuk menuntut ilmu. Malangnya, ditengah perjalanan dari Jurjan ke Thus ia
dihadang oleh segerombolan perampok. Barang-barang bawaannya habis dijarah.
Namun yang paling disesalinya adalah buku-buku catatannya yang sangat berharga
baginya turut dirampas oleh para
perampok itu. Padahal belum semuanya ia baca, sedangkan yang telah dibaca belum
seluruhnya dihapal. Mengingat betapa berharganya buku-buku tersebut, Al-ghazali
memberanikan diri membuntuti perampok itu dan meminta mereka untuk
mengembalikan buku-bukunya, hingga akhirnya buku-buku itu dikembalikan.
Meskipun
Al-ghazali berhasil mendapatkan kembali buku-bukunya, peristiwa ini memberikan
pelajaran berharga baginya. Dari kejadian inilah Al-ghazali betapa ilmu itu
benar-benar menjadi ilmu jika telah meresap kedalam jiwa, sebagaimana
pepatah arab “Al-‘ilmu fi Ash-shuduur, Laa
fii as-sutuur” (Ilmu itu di dalam dada, bukan didalam tulisan). Ilmu yang
terkandung didalam buku akan sirna apabila buku itu hilang dan rusak. Dalam
pengertian teknis, ilmu didalam dada itu bisa diartikan sebagai ilmu yang telah
dihapal dan dimengerti sepenuhnya oleh orang yang bersangkutan serta tercermin
dalam tingkah lakunya. Makanya, setibanya di Thus, beliau tidak menunda waktu
untuk mempelajari catatan-catatan itu.
“Setibadi Thus, aku bekerja selama tiga tahun hingga aku hafal semua yang aku
tulis,” kata Imam Al-Ghazali.
Pentingnya
mendalami ilmu sepertinya kurang disadari oleh masyarakat, khususnya di era
digital sekarang ini yang ditandai dengan semakin banyaknya orang
menggantungkan pengetahuan pada sumber-sumber informasi digital seperti
internet. Hal ini karena teknologi informasi telah memberi kemudahan dalam
mengumpulkan dan melacak sumber-sumber informasi. Sharing informasi antara
pengguna komputer di media sosial yang tidak mengenal batas dan ruang waktu
dirasa semakin intensif. Meski dihambat oleh berbagai peraturan mengenai hak
cipta, tukar-menukar informasi ini nyaris tidak tertahankan.
Adanya
kemudahan dalam mengakses sumber-sumber informasi ini telah membuat semua orang
berada di level yang sama dalam mengakses informasi. Orang tua dan anak-anak,
guru atau murid, orang kaya atau miskin, profesor atau pedagang, semuanya dapat
mengakses informasi yang nyaris sama. Dan dengan semua kemudahan inilah, mereka
semua merasa telah menguasai ilmu karena bisa mengakses sumber
informasinya, padahal mereka belum tentu
memahaminya.
Akibatnya,
sebagian orang menganggap sepele kebiasaan belajar yang serius. Misalnya
tradisi menghapal sebagaimana banyak dipraktekkan di dunia pesantren yang
dianggap oleh sebagian orang sebagai tradisi kolot. Mereka berpendapat, untuk
apa repot-repot menghapal karena akses
kepada sumber informasi seperti buku dan internet sudah sangat mudah. Dengan
mesin pencari otomatis seperti Google, Yahoo, atau Bing segala macam informasi
bisa diperoleh dengan dengan cepat. Namun, coba kita bayangkan, bagaimana kalau
suatu saat internet tidak beroperasi, misalnya karena rusaknya saluran telekomunikasi, atau ditutupnya akses
pada informasi itu, atau tiadanya sambungan arus listrik? Situasi ini
sebenarnya tidak berbeda dengan situasi ketika Al-Ghazali kehilangan buku-bukunya.
Kemudahan
mengakses informasi ini telah membuat orang sekarang sangat sibuk mengumpulkan
informasi, sehingga melupakan proses belajarnya. Para mahasiswa men-download
segala macam buku, tetapi hanya secuil
yang dibaca. Pengguna telepon genggam atau komputer jinjing (notebook, netbook,
pc tablet, dll) menyimpan berbagai macam bacaan mulai Al-Qur’an, kitab tafsir,
hadits dan karya-karya ulama lainnya. Mereka membagakan kemampuan mereka dalam
mengumpulkan dan menyimpan informasi melebihi sebuah perpustakaan yang
berkapasitas ribuan buku hanya dengan satu keping DVD. Namun, berapa banyak
yang benar-benar serius menelaahnya hingga benar-benar memahaminya, ataupun
menghapalnya ?
Orang-orang
zaman dahulu mungkin hanya memiliki satu atau dua buku di rumahnya, tetapi
mereka mempelajarinya dengan sangat serius. Mereka menjiwai betul isi buku
tersebut sampai-sampai mereka hapal isinya, kata demi kata hingga titik
komanya, sehingga isi buku itu benar-benar mewarnai jiwa mereka. Sebaliknya
orang zaman sekarang mempunyai segudang sumber informasi, tetapi tak ada satu
pun yang benar-benar dikuasainya. Hal ini menunjukkan banyaknya sumber
informasi yang dimiliki tidak berbanding lurus dengan banyaknya ilmu yang dipahami.
Para
ulama dan cendekiawan muslim zaman dahulu juga terbiasa menyimpan ilmu di dalam
pikirannya dan terlalu menggantungkan diri pada buku. Makanya menghapal
Al-Qur’an dan sekian ribu hadits merupakan kemampuan standar kaum terpelajar di zaman itu. Imam Bukhari
diperkirakan hafal 600 ribu hadits berikut perawinya. Al-Nisaburi mendiktekan
tafsir Al-Qur’an langsung dari ingatannya. Al-Bawardi , seorang ahli bahasa,
mendiktekan langsung dari ingatannnya tentang masalah linguistik sebanyak 30
ribu halaman. Abu Bakar bin Al-anbari mendiktekan 45 ribu halaman hadits dan
mengaku hapal tiga puluh buku.
Bagi
orang sekarang kemampuan itu terasa fantastis, mungkin banyak yang tidak
mempercayainya. Namun, semua itu sebenarnya bukan hal yang aneh karena mereka
memang terbiasa mengingat segala sesuatu dengan tidak terlalu menggantungkan
diri kepada buku atau catatan, semua itu karena ilmu mereka ada didalam jiwa,
bukan didalam tulisan, apalagi media digital.
Dikutip dari buku inilah! Wasiat Nabi bagi Para Penuntut ilmu karya
Dr. Wendi Zarman dan K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) pimpinan pondok
pesantren Daarut Tauhiid sebagai
pengantar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar