Kamis, 07 Januari 2016

Untuk Para Penuntut Ilmu



“Al-‘ilmu fi Ash-shuduur,  Laa fii as-sutuur” (Ilmu itu di dalam dada, bukan didalam tulisan)
Suatu ketika Imam Al-Ghazali mengadakan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu. Malangnya, ditengah perjalanan dari Jurjan ke Thus ia dihadang oleh segerombolan perampok. Barang-barang bawaannya habis dijarah. Namun yang paling disesalinya adalah buku-buku catatannya yang sangat berharga baginya turut dirampas oleh  para perampok itu. Padahal belum semuanya ia baca, sedangkan yang telah dibaca belum seluruhnya dihapal. Mengingat betapa berharganya buku-buku tersebut, Al-ghazali memberanikan diri membuntuti perampok itu dan meminta mereka untuk mengembalikan buku-bukunya, hingga akhirnya buku-buku itu dikembalikan.
Meskipun Al-ghazali berhasil mendapatkan kembali buku-bukunya, peristiwa ini memberikan pelajaran berharga baginya. Dari kejadian inilah Al-ghazali betapa ilmu itu benar-benar menjadi ilmu jika telah meresap kedalam jiwa, sebagaimana pepatah  arab “Al-‘ilmu fi Ash-shuduur,  Laa fii as-sutuur” (Ilmu itu di dalam dada, bukan didalam tulisan). Ilmu yang terkandung didalam buku akan sirna apabila buku itu hilang dan rusak. Dalam pengertian teknis, ilmu didalam dada itu bisa diartikan sebagai ilmu yang telah dihapal dan dimengerti sepenuhnya oleh orang yang bersangkutan serta tercermin dalam tingkah lakunya. Makanya, setibanya di Thus, beliau tidak menunda waktu untuk mempelajari catatan-catatan itu. “Setibadi Thus, aku bekerja selama tiga tahun hingga aku hafal semua yang aku tulis,” kata Imam Al-Ghazali.
Pentingnya mendalami ilmu sepertinya kurang disadari oleh masyarakat, khususnya di era digital sekarang ini yang ditandai dengan semakin banyaknya orang menggantungkan pengetahuan pada sumber-sumber informasi digital seperti internet. Hal ini karena teknologi informasi telah memberi kemudahan dalam mengumpulkan dan melacak sumber-sumber informasi. Sharing informasi antara pengguna komputer di media sosial yang tidak mengenal batas dan ruang waktu dirasa semakin intensif. Meski dihambat oleh berbagai peraturan mengenai hak cipta, tukar-menukar informasi ini nyaris tidak tertahankan.
Adanya kemudahan dalam mengakses sumber-sumber informasi ini telah membuat semua orang berada di level yang sama dalam mengakses informasi. Orang tua dan anak-anak, guru atau murid, orang kaya atau miskin, profesor atau pedagang, semuanya dapat mengakses informasi yang nyaris sama. Dan dengan semua kemudahan inilah, mereka semua merasa telah menguasai ilmu karena bisa mengakses sumber informasinya,  padahal mereka belum tentu memahaminya.
Akibatnya, sebagian orang menganggap sepele kebiasaan belajar yang serius. Misalnya tradisi menghapal sebagaimana banyak dipraktekkan di dunia pesantren yang dianggap oleh sebagian orang sebagai tradisi kolot. Mereka berpendapat, untuk apa repot-repot menghapal  karena akses kepada sumber informasi seperti buku dan internet sudah sangat mudah. Dengan mesin pencari otomatis seperti Google, Yahoo, atau Bing segala macam informasi bisa diperoleh dengan dengan cepat. Namun, coba kita bayangkan, bagaimana kalau suatu saat internet tidak beroperasi, misalnya karena rusaknya  saluran telekomunikasi, atau ditutupnya akses pada informasi itu, atau tiadanya sambungan arus listrik? Situasi ini sebenarnya tidak berbeda dengan situasi ketika Al-Ghazali kehilangan buku-bukunya.
Kemudahan mengakses informasi ini telah membuat orang sekarang sangat sibuk mengumpulkan informasi, sehingga melupakan proses belajarnya. Para mahasiswa men-download segala macam  buku, tetapi hanya secuil yang dibaca. Pengguna telepon genggam atau komputer jinjing (notebook, netbook, pc tablet, dll) menyimpan berbagai macam bacaan mulai Al-Qur’an, kitab tafsir, hadits dan karya-karya ulama lainnya. Mereka membagakan kemampuan mereka dalam mengumpulkan dan menyimpan informasi melebihi sebuah perpustakaan yang berkapasitas ribuan buku hanya dengan satu keping DVD. Namun, berapa banyak yang benar-benar serius menelaahnya hingga benar-benar memahaminya, ataupun menghapalnya ?
Orang-orang zaman dahulu mungkin hanya memiliki satu atau dua buku di rumahnya, tetapi mereka mempelajarinya dengan sangat serius. Mereka menjiwai betul isi buku tersebut sampai-sampai mereka hapal isinya, kata demi kata hingga titik komanya, sehingga isi buku itu benar-benar mewarnai jiwa mereka. Sebaliknya orang zaman sekarang mempunyai segudang sumber informasi, tetapi tak ada satu pun yang benar-benar dikuasainya. Hal ini menunjukkan banyaknya sumber informasi yang dimiliki tidak berbanding lurus dengan  banyaknya ilmu yang dipahami.
Para ulama dan cendekiawan muslim zaman dahulu juga terbiasa menyimpan ilmu di dalam pikirannya dan terlalu menggantungkan diri pada buku. Makanya menghapal Al-Qur’an dan sekian ribu hadits merupakan kemampuan standar kaum  terpelajar di zaman itu. Imam Bukhari diperkirakan hafal 600 ribu hadits berikut perawinya. Al-Nisaburi mendiktekan tafsir Al-Qur’an langsung dari ingatannya. Al-Bawardi , seorang ahli bahasa, mendiktekan langsung dari ingatannnya tentang masalah linguistik sebanyak 30 ribu halaman. Abu Bakar bin Al-anbari mendiktekan 45 ribu halaman hadits dan mengaku hapal tiga puluh buku.
Bagi orang sekarang kemampuan itu terasa fantastis, mungkin banyak yang tidak mempercayainya. Namun, semua itu sebenarnya bukan hal yang aneh karena mereka memang terbiasa mengingat segala sesuatu dengan tidak terlalu menggantungkan diri kepada buku atau catatan, semua itu karena ilmu mereka ada didalam jiwa, bukan didalam tulisan, apalagi media digital.

Dikutip dari buku inilah! Wasiat Nabi bagi Para Penuntut ilmu karya Dr. Wendi Zarman dan K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) pimpinan pondok pesantren Daarut Tauhiid sebagai pengantar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar