BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asmaul
Husna secara harfiah berarti nama-nama yang terbaik. Istilah ini diambil dari
beberapa ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah mempunyai berbagai nama
yang terbaik. Melalui nama-nama tersebut, umat Islam bisa mengetahui keagungan
Allah dan menyeru dengan nama-nama tersebut ketika berdo’a atau mengharap
kepada-Nya. Ajaran mengenai Asmaul Husna ini sudah banyak diamalkan masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagian amalan (wirid) yang mendatangkan
manfaat secara nyata dalam kehidupan.
Akan tetapi, dibalik semua ini,
masih perlu dipertanyakan peran Asmaul Husna dalam kehidupan kaum muslimin
sehari-hari, sebab pengajaran agama di masyarakat tampaknya masih kurang
memperhatikan hal ini. Sebagai contoh, ada lukisan kaligrafi Asmaul Husna yang
berharga jutaan rupiah terpampang di rumah sebagai kebanggaan, tetapi belum
dihayati maknanya.
Dari latar belakang tersebut,
penulis tertarik untuk menulis makalah yang membahas tentang nama-nama terbaik
Allah (Asmaul Husna).
B. Rumusan
Masalah
1. Apa definisi Asmaul Husna ?
2. Apa definisi dari 3 nama Asmaul Husna, al-Hafidz,
al-Muqit, al-Hasib ?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan definisi Asmaul Husna
2. Untuk
menjelaskan definisi dari 3 nama Asmaul Husna, al-Hafidz, al-Muqit, al-Hasib
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asmaul Husna
Asmaul
Husna (al-Asma al-Husna) secara harfiah berarti nama-nama yang terbaik.
Istilah ini diambil dari beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa Allah
mempunyai berbagai nama yang terbaik. Melalui nama-nama tersebut, umat islam
bisa mengetahui keagungan Allah dan menyeru dengan nama-nama tersebut ketika
berdo’an dan mengaharap kepada-Nya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa nama-nama terbaik bagi Allah
itu ada 99 buah. Kesembilan puluh sembilan nama terbaik inilah yang disebut
dengan Asmaul Husna.[1]
Dari
sisi lain, Asmaul Husna juga perlu dikaitkan dengan kehidupan setiap
orang. Nabi Muhammad pernah menegaskan “siapa yang mampu membilangnya maka
akan masuk surga”. Memang ada perbedaan pendapat tentang arti “membilang”
tersebut. Ada seorang ahli yang berpendapat cukup dengan menghapalnya. Adapun
yang lain beranggapan bahwa maksud
“membilang” adalah menghayatinya dalam kehidupan. Pengertian yang
terakhir ini diperkuat oleh sebuah hadis Nabi yang menyatakan “berperilakulah
kalian dengan perilaku Allah”. Hadis ini menganjurkan agar setiap muslim bersikap dan berperilaku dengan
‘kepribadian’ Allah. Adapun ‘kepribadian’ Allah banyak ditunjukkan oleh
nama-nama-Nya yang terbaik (asmaul husna)
sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an dan Hadis.[2]
Dengan demikian, keberadaan Asmaul
Husna dalam agama Islam mempunyai beberapa aspek. Pertama, menjelaskan
“kepribadian” Allah, sehingga setiap orang akan bisa mengenal Allah
dengan baik. Kedua, nama-nama terbaik itu bisa digunakan manusia untuk
meminta pertolongan ketika berdo’a kepada Allah. Ketiga, demi tegaknya
moral yang baik dalam kehidupan maka
setiap orang perlu mewujudkan makna “kepribadian” Allah dalam kehidupannya
pribadi, atau hubungannya dengan dirinya sendiri, manusia, alam semesta, dan Tuhan. Keempat, jika
kurang mampu menghayati dalam kehidupan, minimal bisa membacanya secara
rutin setiap hari, sehingga dapat
menghapalnya di luar kepala. Kalau disederhanakan maka akan hanya ada dua fungsi utama Asmaul Husna, yaitu: bagi Allah,
untuk menjelaskan kepribadian-Nya, dan bagi hamba (manusia) untuk tegaknya
moral yang baik dalam kehidupan.[3]
1. Nama yang ke-39: Al-Hafidz (Yang Maha
Pemelihara)
Al-Hafidz merupakan salah
satu nama terbaik Tuhan yang menunjukkan sifat-Nya Yang Maha Pemelihara.[4]
Dialah sang pemelihara. Pemeliharaan-Nya dapat dilihat dari dua segi: pertama,
meneruskan dan melestarikan eksistensi segala yang ada. Kedua, menjaga
keseimbangan antar berbagai unsur yang bertentangan. Keharmonisan alam semesta
ini merupakan hasil penjagaan Tuhan yang dapat menyeimbangkan antara
unsur-unsur yang bertentangan seperti antara unsur-unsur panas, dingin, kering,
basah dalam tubuh manusia. Allah juga menciptakan alat-alat pertahanan bagi
para makhluk-Nya guna kelangsungan hidupnya seperti tanduk pada kijang, sayap
pada burung, akal pada manusia, dan sebagainya.[5]
Nama ini tersebut dalam Al-Qur’an dan termaktub
dalam hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan Imam Tirmidzi. Diantara ayat
Al-Qur’an yang menyebutkan nama itu adalah :
bÎ*sù (#öq©9uqs? ôs)sù /ä3çGøón=ö/r& !$¨B àMù=Åöé& ÿ¾ÏmÎ/ óOä3ös9Î) 4 ß#Î=÷tGó¡our În1u $·Böqs% ö/ä.uöxî
wur ¼çmtRrÛØs? $º«øx© 4 ¨bÎ) În1u 4n?tã Èe@ä. >äóÓx« ÔáÏÿym ÇÎÐÈ
57. Jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya aku telah
menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya
kepadamu. dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu;
dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya
Tuhanku adalah Maha pemelihara segala sesuatu.
Penjagaan dan pemeliharan Allah meliputi alam semesta. Dijaganya perjalanan
matahari, bulan, bintang, bumi dan planet-planet lainnya agar jangan sampai
bergeser dari relnya masing-masing. Dipelihara hukum dan
sunnah-Nya yang diciptakan-Nya pada alam ini agar jangan sampai berubah.
Dipelihara-Nya seorang bayi yang baru lahir. Disediakan-Nya air susu ibu, si
ibu dengan kasih sayang mendekap dan menyusui anaknya, tidak terasa payah dan
letih meskipun harus bangun ditengah malam.[6]
Setiap muslim harus meyakini bahwa
hanya Allah-lah yang memelihara diri dan hartanya, memelihara keluarga dan bangsanya, serta memelihara tanah air dan
jabatan yang dipegangnya. Keyakinan ini harus selalu tertanam dengan kuat dalam
hati setiap orang dalam menghadapi berbagai problema hidup yang sering
mendorongnya harus mencari pelindung tertentu
yang dianggap sebagai pemeliharanya. Hal ini sangat perlu dilakukan, jika seseorang ingin selamat dari perbuatan
syirik yang kadang-kadang bisa terjadi tanpa terasa karena kebodohannya.[7]
Keyakinan
terhadap kemahapemeliharaan Allah terhadap alam semesta ini juga mendorong
seseorang untuk merenungkan, bahkan menyaksikan, segala aturan yang berlaku
yang ditetapkan Allah dalam alam ini (sunnatullah). Keserasian dan
keseimbangan antara komponen-komponen jagat raya menyebabkan tetap
terpeliharanya eksistensinya hingga saat ini. Misalnya, adanya lapisan ozon di
angkasa merupakan penangkal kehancuran makhluk hidup di bumi ini dari sengatan
terik panas matahari. Tak ada kehidupan
di bumi ini tanpa adanya lapisan ozon.
Bagi seorang muslim, hal inilah yang merupakan hukum Tuhan, yang memelihara
kehidupan tetap ada sampai saat ini dengan tetap adanya lapisan ozon antara
bumi dan matahari. Masih banyak lagi contoh lain yang menjadi pertanda bahwa Allah-lah
pemelihara alam semesta.[8]
2.
Nama yang ke-40: al- Muqit (Yang Maha Menjadikan/Memberi Makan)
Dialah yang menciptakan makanan dan
memberikannya kepada tubuh-tubuh berupa makanan, atau diberikannya kepada hati
manusia berupa ma’rifah. Pengertian ini dekat dengan makna ar-Razzaq, tetapi
al-Muqit lebih khusus yaitu menyangkut makanan saja, sedangkan ar-Razzaq
lebih umum.[9] Menurut
pengarang al-Mukhtashar, pengertian al-Muqit kadang-kadang adalah
“Maha Kuasa Yang Mutlak”. Akan tetapi, pengertiannya yang biasa adalah pencipta
segala makanan pokok, baik untuk fisik maupun spritual. Dialah pula yang
memberikan makanan tersebut sebagai penyangga eksistensi sebagai wujud, baik
fisik maupun spritual. Nama ini disebut sekali dalam Al-Qur’an dengan arti yang
berbeda dari makna tersebut, yaitu Tuhan
Yang Maha Kuasa (tunggal atau satu-satunya), sebagaimana tersebut dalam firman
Allah Qur’an surah An-nisaa ayat 85:
`¨B ôìxÿô±o ºpyè»xÿx© ZpuZ|¡ym `ä3t ¼ã&©! Ò=ÅÁtR $pk÷]ÏiB ( `tBur ôìxÿô±o Zpyè»xÿx© Zpy¥Íhy `ä3t
¼ã&©! ×@øÿÏ. $yg÷YÏiB 3 tb%x.ur ª!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« $\FÉ)B ÇÑÎÈ
85. Barangsiapa
yang memberikan syafa'at yang baik[325], niscaya ia akan memperoleh bahagian
(pahala) dari padanya. dan Barangsiapa memberi syafa'at yang buruk[326],
niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.
[325]
Syafa'at yang baik Ialah: Setiap sya'faat yang ditujukan untuk melindungi hak
seorang Muslim atau menghindarkannya dari sesuatu kemudharatan.
[326]
Syafa'at yang buruk ialah kebalikan syafa'at yang baik.[10]
Muslim
yang yakin bertuhankan al-Muqit tidak akan meminta sesuatu apapun untuk
dirinya, fisik dan spritualnya, kecuali kepada Allah. Siang malam bekerja
memeras keringat dan membanting tulang dalam berusaha, harus tetap memohon
kepada Allah. Begitu pula masalah pergantian profesi dalam hidup seseorang,
tidak perlu menimbulkan keresahan. Profesi hanya merupakan salah satu “sebab”
yang dijadikan Allah sarana memberi rezeki yang diperlukan makhluk-Nya dalam
menjalani kehidupan ini. Kesadaran bertuhankan al-Muqit sangat perlu
ditanamkan dalam kalbu. Begitu pula dalam menuntut ilmu pengetahuan yang
merupakan makanan pokok bagi spritual seseorang, seorang muslim harus tetap
hanya memohon kepada Tuhan yang menciptakan dan memberikan hal itu kepadanya.
Oleh karena itu, dalam menuntut ilmu
pengetahuan, setiap hamba harus mengharap agar makanan utama spiritnya itu
diberikan Tuhan kepadanya.[11]
3.
Nama yang ke-41: al-Hasib (Yang Maha Menghitung/Maha Mencukupkan)
Dialah yang mencukupkan keperluan setiap
orang. Kecukupan seseorang diperlukan untuk
kecukupan wujudnya, kelestarian wujudnya, dan kesempurnaan wujudnya.
Semua ini hanya dapat diberikan oleh Yang Maha Cukup dan Maha Sempurna karena
segala sesuatu bergantung pada-Nya.[12]
Nama terbaik Tuhan, al-Hasib, mempunyai banyak pengertian, diantaranya: Tuhan Yang Maha Mencukupkan.
Maksudnya, segala kebutuhan manusia yang banyak sekali, baik untuk fisiknya
maupun spritualnya dalam hidup ini,
hanya Tuhan, al-Hasib, yang mampu memenuhinya. Orang yang merasa
dicukupkan segala kebutuhannya oleh Tuhan, dan kepada-Nya ia bertawakal dalam
segala-galanya, dalam Al-Qur’an disebut
berkeyakinan “hasbiyallah” (cukuplah Allah bagiku), sebagaimana firman
Allah dalam Al-Qur’an surah At-Taubah
ayat 129:
bÎ*sù (#öq©9uqs? ö@à)sù _É<ó¡ym ª!$# Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd ( Ïmøn=tã àMù=2uqs? ( uqèdur >u ĸöyèø9$# ÉOÏàyèø9$# ÇÊËÒÈ
129. Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah:
"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku
bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung".[13]
Allah telah memberikan serba cukup untuk
makhluk dalam alam semesta ini sesuai dengan takdir dan ketentuannya. Qodlo dan
Qodar sudah Allah tentukan pada Azali. Sesuai dengan takdir-Nya, setiap orang manusia sudah menerima
dengan rela atas takdir yang ditentukan untuknya sewaktu Allah tiupkan ruhnya kedalam rahim ibu. Tetapi di satu pihak manusia yang
memiliki “nafsu” ingin melebihi dari apa
yang ditentukan takdir. Padahal, bagaimanapun juga, tidak ada seorang pun anak
manusia ini yang mampu melebihi dari apa yang sudah tercatat pada kitab Allah
SWT. Firman Allah dalam Al-Qur’an surah Hud ayat 6 :
* $tBur `ÏB 7p/!#y Îû ÇÚöF{$# wÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B ÇÏÈ
6. Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya[710]. semuanya tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh).
[709] Yang
dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa.
[710] Menurut
sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia
dan tempat penyimpanan ialah akhirat. dan menurut sebagian ahli tafsir yang
lain maksud tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah
rahim.[14]
Dengan berkeyakinan bahwa Tuhan al-Hasib akan
memperhitungkan segala perbuatan manusia, niscaya seorang muslim akan selalu
berhati-hati dalam berbuat dan berkata-kata, termasuk lintasan pikiran yang
menjadi motivasi dalam hal itu. Dia tahu bahwa apapun niat, perbuatan, dan
perkataan
yang dilakukannya, betapapun kecilnya tetap akan diperhitungkan oleh Allah.
Perhitungan hanya terfokus pada dua hal: berapa kebaikan yang sudah dihasilkan
dan berapa perbuatan buruk yang dilakukan dalam usia yang sudah berlalu. Baik
dan buruk disini tentu saja sesuai dengan pandangan Tuhan al-Hasib, karena
Dialah nanti yang akan memperhitungkan. Sebaiknya, dalam setiap napas kehidupan
dilakukan perhitungan itu. Minimal sehari sekali dilakukan perhitungan untuk
mengevaluasi diri dalam menghadapi kehidupan selanjutnya. Banyaknya perbuatan
baik, tidak untuk arogan kepada orang lain, tetapi untuk perbaikan masa depan,
dari segi kualitas dan kuantitas.
Sebaliknya, banyaknya perbuatan buruk mendorong berbuat tobat, agar segala
perbuatan itu dihapus oleh Allah karena sudah disesali terjadinya dan tak
dilakukan lagi pada masa depan.[15]
BAB III
KESIMPULAN
Jika
direnungkan dan diresapi secara mendalam arti dari nama-nama Allah yang 99
tersebut, maka seorang muslim tidak akan berani mengerjakan hal-hal yang
dilarang oleh Allah dan dia akan menjadi orang yang takwa, patuh dan tunduk
kepada-Nya. Seorang muslim pasti akan berusaha memelihara kalbunya dan segala
anggota tubuhnya dari objek kemarahan Allah karena sudah meyakini bahwa Allah
adalah Tuhan Yang Maha Pemelihara. Seseorang juga pasti akan berusaha menjadi
hamba yang selalu bersyukur, karena sudah mengenal Tuhan Yang Maha Memberi
Makanan. Seorang muslim juga pasti akan selalu berhati-hati dalam berbuat dan
berkata-kata, karena sudah berkeyakinan bahwa Allah akan memperhitungkan segala
perbuatan dan perkataannya.
DAFTAR PUSTAKA
Haderanie, Asma’ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf, (Surabaya:
PT. Bina Ilmu,2004), hlm.153
Hasanah, Mila, Asma
al-Husna Sebagai Paradigma Pengembangan Materi Pendidikan Islam, Banjarmasin:
Institut Agama Islam Negeri Antasari, 2004
Jahja, M.
Zurkani , 99 Jalan Mengenal Tuhan, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010
[1] M. Zurkani
Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, ( Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010)
hlm. xv-xvi
[2] M. Zurkani
Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, hlm xviii
[3] M. Zurkani
Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, ( Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010)
hlm. xviii
[5] Mila Hasanah, Asma
al-Husna Sebagai Paradigma Pengembangan MateriPendidikan Islam, (Banjarmasin:
Institut Agama Islam Negeri Antasari, 2004) hlm. 54-55
[6] Haderanie HN, Asma’ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf, (Surabaya:
PT. Bina Ilmu,2004), hlm.153
[7] M. Zurkani
Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, hlm. 305-306
[8] M. Zurkani
Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, hlm 306
[9] Mila Hasanah, Asma
al-Husna Sebagai Paradigma Pengembangan MateriPendidikan Islam, hlm. 55
[11] M. Zurkani
Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, hlm 313-314
[12] Mila Hasanah, Asma
al-Husna Sebagai Paradigma Pengembangan MateriPendidikan Islam, hlm. 55
[13] M. Zurkani
Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, hlm 319
[14] Haderanie HN, Asma’ul Husna Sumber Ajaran Tauhid/Tasawuf. Hlm
160
[15] M. Zurkani
Jahja, 99 Jalan Mengenal Tuhan, hlm 322-323