DAFTAR ISI
BAB
I.......................................................................................................................2
PENDAHULUAN....................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................5
PENUTUP..............................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah
merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, maupun
individu. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu
sendiri. Oleh karena itu tanpa memahami sejarah, maka proses kehidupan tidak
akan dapat diketahui. Melalui sejarah pulalah manusia dapat mengambil banyak
pelajaran dari proses kehidupan suatu
umat, bangsa, negara, dan sebagainya. Di antara pelajaran penting yang
dapat diambil dari sejarah adalah mengambil sesuatu yang baik dari suatu umat,
bangsa dan negara untuk senantiasa dilestarikan dan dikembangkan. Sedangkan
terhadap hal-hal yang tidak baik, sedapat mungkin ditinggalkan dan dihindari.
Melalui sejarah kita dapat
mengetahui betapa umat islam pernah mencapai suatu kejayaan yang diakui oleh
dunia international. Pada saat itu banyak orang-orang non Islam yang belajar
kepada ilmuwan muslim, baik secara langsung maupun tidak. Banyak karya-karya
tokoh ilmuwan muslim yang dipakai sebagai referensi ilmuwan Eropa sampai hampir
tujuh abad, misalnya karya Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu
Khaldun, al-Hawarizmi dan sebagainya. Kejayaan
itu tentu tidak dapat dicapai begitu saja, tanpa adanya suatu sebab yaitu usaha
maksimal dari para ilmuwan muslim dan dukungan sarana dan prasarana dari
donator, sebagaimana kejayaan yang pernah dicapai masa Abbasiyah periode awal.
Perkembangan Islam pada zaman Nabi
Muhammad SAW dan para sahabat merupakan masa keemasan, hal itu bisa terlihat
bagaimana kemurniaan Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya
yaitu Rasulullah SAW. Kemudian pada zaman selanjutnya yaitu zaman para sahabat,
terkhusus pada zaman khalifah yang empat atau yang lebih terkenal dengan
sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat. Hal itu tentunya
tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan dan
juga dalam menyebarkan Islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi.
Perkembangan Islam pada zaman inilah
merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang lebih maju. Maka tidak
heran para sejarawan mencatat bahwa Islam pada zaman Nabi Muhammad dan
Khulafaur Rasyidin merupakan islam yang luar biasa pengaruhnya. Namun yang
terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman sekarang ini seolah kita
melupakannya. Sehubungan dengan itu perlu kiranya untuk melihat kembali dan
mengkaji kembali bagaimana sejarah Islam
yang sebenarnya, khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
penulis tertarik untuk membahas tentang “Sejarah Peradaban Islam Pada Masa
Khulafaur Rasyidin”
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi sejarah
peradaban islam ?
2. Bagaimana sejarah peradaban islam pada masa Khulafaur Rasyidin ?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan definisi sejarah peradaban islam
2. Untuk menjelaskan sejarah peradaban islam pada masa Khulafaur
Rasyidin
D. Kegunaan
1. Kegunaan Teoritis
Makalah
ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
kepada pembaca agar bisa lebih tahu tentang sejarah peradaban islam,
khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin.
2. Keguanaan Praktis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan
wawasan tambahan kepada pembaca tentang bagaimana perjuangan para sahabat Nabi
(Khulafaur Rasyidin) dalam memperjuangkan agama Tauhid, supaya pembaca bisa meneladani
sifat dan rasa peduli para sahabat kepada agama Islam yang diridhoi untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Peradaban Islam
Peradaban
islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyyah. Kata
Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan
Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia,
sebagaimana di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata
“kebudayaan” dan “peradaban”. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang,
kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi
kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau
kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi(agama), dan
moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.[1]
Menurut
Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) Wujud
ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivis kelakuan berpola dari manusia
dalam masyarakat, dan (3) wujud benda,
yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Menurutnya,
peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai
sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu
pengetahuan yang maju dan kompleks. Jadi, kebudayaan menurut definisi pertama,
adalah wujud ideal dalam definisi Koentjaraningrat, sementara menurut definisi
terakhir, kebudayaan mencakup juga peradaban, tetapi tidak sebaliknya.[2]
Landasan
“Peradaban Islam” adalah “Kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan
“Kebudayaan Islam” adalah agama. Jadi,
dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi”
(nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan.
Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, dan rasa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan .[3]
Kajian
tentang “Peradaban” Islam sekarang ini memang sudah menganut pendapat
bahwa kebudayaan Islam tidak lagi satu,
tetapi sudah terdapat beberapa
“peradaban” Islam. Akan tetapi, tampaknya “peradaban-peradaban” Islam
yang disorot dalam kajian-kajian Islam sampai waktu belum lama ini hanya terbatas pada empat “peradaban” Islam
yang dominan. Semuanya sangat berkaitan
pada empat kawasan, yaitu kawasan pengaruh kebudayaan Arab (Timur Tengah dan
Afrika Utara, termasuk Spanyol Islam), kawasan pengaruh kebudayaan Persia (Iran
dan negara-negara Asia Tengah), kawasan pengaruh kebudayaan Turki, dan kawasan
pengaruh kebudayaan India Islam. Hal ini tampaknya, sangat ditentukan oleh
perkembangan politik Islam sampai periode pertengahan. Kalau pada periode
klasik, peran Arab sangat menonjol karena memang Islam hadir disana, maka pada
periode pertengahan muncul tiga kerajaan
besar Islam yang mewakili tiga kawasan budaya, yaitu kerajaan Usmani di Turki,
kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal di India. Kerajaan-kerajaan
Islam yang lain, meski juga ada yang cukup besar, tetapi jauh lebih lemah
dibandingkan dengan tiga kerajaan ini, bahkan berada dalam pengaruh salah satu diantaranya. Kajian politik
rupanya masih sangat besar mempengaruhi
kajian kebudayaan dan peradaban.
Studi Islam seperti ini, maksudnya kajian Islam yang masih membatasi empat
kawasan itu, masih terlihat dalam tulisan-tulisan ilmuwan kontemporer yang
mengkaji persoalan keislaman. [4]
B. Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Nabi Muhammad SAW. Tidak
meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai
pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan
persoalan tersebut kepada kaum Muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena
itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan,
sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar
berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa
yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot
karena masing-masing pihak, baik
Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.
Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar
terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang
tinggi dariumat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.[5]
Sebagai pemimpin umat Islam setelah rasul, Abu Bakar
disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan
selanjutnya disebut Khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang
diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas
sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan yang sering disebut Khulafaurrasyidin.[6]
Al-Khulafa’ ar-Rasyidin bermakna
pengganti-pengganti rasul yang
cendekiawan. Adapun pencetus nama Al-khulafa’ ar-Rasyidin adalah dari
orang-orang muslim yang paling dekat dengan Rasul setelah meninggalnya beliau.
Mengapa demikian, karena mereka menganggap bahwa 4 tokoh sepeninggal Rasul itu
orang yang selalu mendampingi Rasul ketika beliau menjadi pemimpin dan dalam
menjalankan tugas.[7]
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq
Namanya ialah
Abdullah ibn Abi Quhaifah Attamini. Di zaman pra Islam bernama Abdullah ibn
Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Julukannya Abu Bakar
(Bapak Pernagi) karena dari pagi-pagi betul memeluk agama Islam, gelarnya ash-Shiddiq
karena ia selalu membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’
Mi’raj.[8]
Setelah
Rasulullah wafat, kaum muslimin mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah.
Mereka membicarakan siapakah sepatutnya yang menggantikan Rasulullah SAW dalam
memimpin kaum Musliin dan mengurus persoalan ummat. Setelah diskusi,
pembahasan, dan pengajuan sejumlah usulan; tercapailah kesepakatan bulat bahwa
Khalifah Rasulullah pertama sesudah kematian beliau adalah orang yang pernah
menjadi Khalifah (pengganti) Nabi SAW dalam mengimami kaum Muslimin pada saat
beliau sakit. Itulah Ash Shiddiq – sahabat beliau yang terbesar dan pendamping
di dalam gua, Abu Bakar ra.[9]
Abu Bakar memangku
jabatan Khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama
untuk mengatasi berbagai macam masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya
Nabi, dan Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk
bersatu mau melanjutkan tugas membangun mulya Nabi. Yang pertama kali menjadi
perhatian Khalifah adalah merealisasikan keinginan Nabi yang hampir tidak
terlaksana. Yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Syiria di bawah pimpinan
Usamah untuk membalas pembunuhan ayahnya, Zaid, dan kerugian yang diderita oleh
umat Islam dalam perang Mu’tah.
Prioritas lain
yang laksanakan oleh pemerintahan Abu Bakar adalah hilangnya beberapa orang
Arab dari ikatan Islam, yang lebih dikenal dalam Islam ialah “Riddah”. Mereka
melepaskan kesetiaan dengan tidak memberikan baiat kepada Khalifah yang baru,
dan juga mereka menganggap bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Nabi
dengan sendirinya batal disebabkan oleh kematian Nabi.[10]
Setelah resmi
menjadi Khalifah. Abu Bakar segera memberangkatkan pasukan Usamah. Kemudian
Usamah bergerak bersama pasukannya. Setiap kali melewati suatu kabilah yang
para warganya banyak melakukan kemurtadan. Usamah berhasil mengembalikannya
lagi (kepada Islam). Sesampainya di negeri (jajahan) Romawi, tempat dimana ayahnya
terbunuh, Usamah beserta pasukannya menyerbu mereka hingga Allah memberikan
kemenangan.
Kemudian
memberangkatkan pasukan untuk memerangi orang-orang yang murtad dan tidak mau
membayar zakat. Pasukan ini dibaginya sepuluh panji, masing-masing pemegang
panji diperintahkan untuk menuju ke suatu daerah.[11]
Salah satu jasa
terbesar dalam pemerintahan Abu bakar adalah mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an
yang ada waktu itu masih berserakan dan belum dibukukan dalam satu mushaf.
Khalifah kemudian menugaskan Zaid ibn Sabit melaksanakan hal tersebut. Setelah
Abu Bakar meninggal, kitab al-Qur’an yang sudah dibukukan tersebut kemudian
disimpan oleh salah satu istri Nabi, yaitu Khafsah binti Umar ibn Khaththab.
Setelah beliau
meninggal, Umarlah sebagai pengganti beliau atas kemauan Abu Bakar sendiri.
Kebijakan tersebut dikabulkan oleh umat islam dan sekaligus mereka membaiat
Khalifah Umar ibn al-Khaththab.
Khalifah Abu
Bakar meninggal pada hari Senin 23 Agustus 624 M. Setelah kurang lebih 15 hari
berbaring di tempat tidur. Dia berusia 63 tahun dan kekhalifahan berlangsung
selama 2 tahun 3 bulan 11 hari.[12]
2. Umar bin Khattab
Pada masa Umar bin Khattab menjadi
khalifah, banyaklah daerah yang memusuhi Islam ditundukkan.[13] Di
zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, ibu kota Syria, Damaskus,
jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di
pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh kebawah kekuasaan Islam. Dengan
memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir dibawah pimpinan Amr
bin Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash,
Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian,
Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadasiyah, sebuah kota dekat Hirah di
Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana
serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, Al-Madain yang jatuh pada tahun itu
juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa
kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.[14]
Karena perluasan daerah terjadi
dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencotoh
administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syiria,
Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang
dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan diterbitkan sistem
pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan
didirikan dalam rangka memisahkan
lembaga yudikatif dengan lembaga
eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, maka dari itu kepolisian dibentuk. Demikian pula
pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait
al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan kalender tahun hijriah.
Baitul Mal berasal dari bahasa Arab
“bait” yang berarti rumah dan “al-mal” yang berarti harta jadi “Baitul Mal”
berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Baitul Mal adalah suatu
lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat,
baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Baitul Mal dapat juga
diartikan secara fisik sebagai tempat (al-makan) untuk menyimpan dan mengelola
segala macam harta yang menjadi pendapatan negara.
Selama memerintah, Umar bin Khattab
tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan
syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah
satu pidatonya, yang dicatat Ibnu Katsir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang
khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “tidak dihalalkan bagiku dari harta
milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang
cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang diantara orang-orang Quraisy biasa,
dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.[15]
Umar memerintah selama sepuluh tahun
(13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh
seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk menentukan penggantinya,
Umar menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi
khalifah. Enam orang tersebut adalah Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin
Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah
dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak
ketat dengan Ali bin Abi Thalib.[16]
3. ‘Utsman bin ‘Affan
Nama lengkapnya ialah Utsman ibn Affan ibn Abdil Ash ibn Umayyah
dari pihak Quraisy. Ia memeluk Islam lantaran ajakan Abu Bakar, dan menjadi
salah seorang sahabat dekat dengan Nabi saw. Melalu persaingan persaingan ketat
dengan Ali, tim formatur yang dibentuk oleh Umar ibn Khaththab akhirnya memberi
mandat kekhalifahan kepada Utsman ibn Affan. Masa pemerintahannya adalah yang
terpanjang dari semua Khalifah di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin yaitu 12
tahun. Para pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Utsman ibn Affan menjadi
dua periode, enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik dan enam
tahun terakhir adalah merupakan masa pemerintahan yang buruk.
Separuh pertama
pada pemerintahan Utsman, beliau melanjutkan sukses pendahulunya, terutama dalam
perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai
Islam seperti Mesir dan Irak terus dikembangkan dengan melakukan serangkaian
ekspedisi militer yan terencanakan secara cermat dan simultan di semua front.
Separuh
pemerintahan Utsman ibn Affan yang kedua muncul perasaan tidak puas dan kecewa
dikalangan umat Islam sendiri. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat
kecewa terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijakaannya mengangkat keluarga
dalam kedudukan tinggi.
Prestasi
terpenting bagi Khalifah Utsman ialah menulis kembali al-Qur’an yang telah
ditulis pada zaman Abu Bakar yang pada waktu itu disimpan oleh Khafsoh binti
umar.Setelah penulisan al-Qur’an Utsman mengirimkan Mushaf ke setiap kota
besar, serta beliau memerintahkan untuk membakar Mushaf yang lain dari yang
ditulis oleh badan yang terdiri dari 4 orang.
Ustman juga
berjasa membangun bendungan untuk pengaturan perairan di kota-kota, membangun
jalan-jalan, jembatan, masjid dan memperluas masjid Nabawi di Madinah.
Situasi politik
pada masa akhir pemerintahan Utsman semakin mencekam dan timbul
pemberontakan-pemberontakan yang mengakibatkan terbunuh Ustman. Ketika
pemberontak berhasil memasuki dan membunuh Ustman saat sedang membaca
al-Qur’an. Ustman akhirnya wafat sebagai syahid pada hari Jum’at tanggal 17
Dzulhijah 35 H./655M. Beliau dimakamkan di pekuburan Baqi di Madinah.[17]
a) Pengumpulan al-Qur’an
pengumpulan al-Qur’an
pada masa Utsman bin Affan mempunyai latar belakang yang relatif berbeda dengan
pengumpulan al-Qur’an pada masa sebelumnya. Pada periode pengumpulan yang
ketiga ini lebih dilatarbelakangi oleh perselisihan yang berkenaan dengan
perbedaan cara membaca al-Qur’an. Dalam perselisihan itu, masing-masing merasa
bahwa bacaannyalah yang paling benar, sedang orang lain yang berbeda dengannya
dianggap tidak benar. Perbedaan bacaan itu
muncul berkaitan dengan meluasnya wilayah Daulah Islamiah dan
berpencarnya para sahabat ke berbagai wilayah tertentu. Para sahabat yang pergi
ke wilayah tertentu kemudian mengajarkan
al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang pernah didengarnya dari Nabi SAW. Penduduk
Syam membaca al-Qur’an menurut bacaan Ubay bin Ka’b, guru mereka. Penduduk
Kufah membaca al-Qur’an mengikuti bacaan
Abu Musa al-Asy’ari, guru mereka, dan seterusnya.[18]
Al-Bukhari
meriwayatkan bahwa Hudzaifah bin Yaman dalam suatu perjalanannya bersama-sama
penduduk Syam dan Irak untuk menaklukkan wilayah Armenia dan Azerbaijan
dikejutkan oleh adanya perselisihan
tersebut. Hudzaifah kemudian melaporkan peristiwa yang memprihatinkan itu
kepada khalifah Utsman bin Affan. Untuk menindak-lanjuti laporan tersebut,
khalifah kemudian meminjam mushaf yang berada ditangan Hafshah untuk disalin
dan digandakan. Langkah selanjutnya adalah menunjuk tiga sahabat untuk
ditugaskan menyalin mushaf tersebut kedalam beberapa mushaf. Utsman berpesan,
apabila dalam proses penyalinan tersebut ditemukan perbedaan dengan apa yang
dimiliki oleh Zaid bin Tsabit, agar lidah Quraisy dijadikan sebagai pengadil
atau dijadikan sebagai alternatif pengganti. Karena menurut Utsman, al-Qur’an
diturunkan dalam lidah mereka. Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin
al-Ash dan Abdurrahman kemudian berhasil menunaikan tugas yang diberikan oleh
khalifah dengan baik. Beberapa mushaf
yang sudah digandakan itu kemudian dikirim ke wilayah-wilayah Kufah, Basrah,
Damaskus, Mekkah dan Madinah. Utsman sendiri menyisakan satu mushaf untuk
dirinya, yang kemudian dikenal dengan mushaf al-Imam.[19]
Dengan pengumpulan
al-Qur’an periode terakhir ini, tidak berarti bahwa mushaf atau kitab al-Qur’an
yang disalin pada masa Utsman sudah menemukan bentuknya seperti yang ada
sekarang ini. Untuk sampai kebentuk seperti yang ada dewasa ini, memakan waktu
yang relatif panjang. Yang agaknya pasti, bahwa upaya Utsman dan para sahabat
yang lain adalah agar umat Islam terhindar dari perpecahan di seputar bacaan
al-Qur’an dan keotentikan serta keaslian dapat terjaga dan terpelihara.[20]
4. Ali bin Abi Thalib
Ali adalah
putera Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, ia adalah sepupu Nabi Muhammad saw. Ali
diangkat sebagai Khalifah dalam situasi politik yang kurang mendukung. Sebagai
khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 6 tahun. Masa pemerintahannya
mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintahan Khalifah sebelumnya,
Utsman ibn Affan.
Ali kembali ke
Kufah yang telah dijadikan sebagai pusat Khilafah. Sesampainya di Kufah, Ali
segera mengutus Jurair bin Abdullah Al Bajli kepada Mua’wiyah di Syam guna
mengajak bergabung ke dalam apa yang telah dilakukan orang-orang, dan
memberitahukan bahwa para Muhajirin dan Anshor telah sepakat untuk
membai’atnya. Tetapi Mu’awiyah berpendapat bahwa bai’at Ali tidak sah karena
berpencarnya Ahlul halli wal Aqdi dari para sahabat di berbagai negeri,
padahal bai’at itu tidak akan dinyatakan sah kecuali dengan kehadiran mereka
semua. Oleh sebab itu, Mu’awiyah tidak bersedia memenuhi ajakan Ali, sampai
para pembunuh Utsman diqishash kemudian kaum Muslimin memilih sendiri Imam
mereka.
Demi mendengar
penolakan Mu’awiyah, Ali langsung menanggapinya sebagai “Pemberontakan” yang
keluar dari Jama’atul Muslimin dan Imam mereka. Kemudian Ali berserta
pasukannya berangkat pada tanggal 12 Rajab tahun 36 Hijriah lalu pasukan
dikonsentrasikan di Nakhilah.
Setelah
mengetahui hal ini, Mu’awiyah pun dengan serta merta mengerahkan pasukannya
dari Syam, hingga kedua pasukan ini bertemu di daratan Shiffin di tepi sungai
Furat. Selama dua bulan atau lebih kedua pihak saling bergantian mengirim
utusan. Selama pembahasan dan perundingan ini barangkali telah terjadi
pertempuran-pertempuran kecil dan manuver.
Keadaan ini
terus berlangsung hingga datang bulan Muharram tahun 37 Hijriah. Kemudian
Mu’awiyah dan Ali sepakat untuk melakukan “gencatan senjata” selama sebulan,
dengan harapan dapat dicapai ishlah(perdamaian). Tetapi masa “gencatan senjata”
ini berakhir tanpa membuahkan hasil yang diharapkan.
Pada hari
pertama dan kedua, pertempuran berlangsung dengan sengit. Perang berlangsung
selama tujuh hari tanpa ada pihak yang kalah atau menang. Tetapi pada akhirnya
Mu’awiyah dan pasukannya semakin terdesak oleh pasukan Ali. Ali dan pasukannya
nyaris mencatat kemenangan. Saat itulah Mu’awiyah dan amer bin Al Ash
berunding. Amer bin Al Ash mengusulkan supaya Mu’awiyah mengajak penduduk Iraq
untuk berhukum kepada Kitab Allah.lalu Mu’awiyah memerintahkan orang-orang
supaya mengangkat Mush-haf di ujung tombak. Ketika pasukan Ali melihat hal ini
–mereka sudah hampir memperoleh kemenangan- terjadilah perselisihan diantara mereka
: Ada yang setuju untuk berhukum kepada Kitab Allah dan ada pula yang tidak
menghendaki kecuali peperangan karena siapa tahu hal itu hanyalah tipu daya.
Sebenarnya Ali
cenderung pada pendapat yang terakhir, tetapi ia terpaksa mengikuti pendapat
pertama yang pendukungnya mayoritas. Kemudian Ali mengutus Al Asy’ats bin Qais
kepada Mu’awiyah guna menanyakan apa sebenarnya yang dikehendakinya. Mu’awiyah
menjelaskan, “Mari kita kembali kepada Kitab Allah. Kami pilih sorang wakil
yang kami setujui dan kalian pilih pula seorang wakil yang kalian setujui.
Kemudian kita semua menyumpah kedua wakil tersebut untuk memutusan sesuai
dengan apa yang diperintahkan Allah. Apa pun keputusan kedua wakil tersebut
wajib kita ikuti”.
Kemudian
penduduk Syam memilih Amer bin Al Ash sedangkan penduduk Iraq memilih Abu Musa
Al ‘Asy’ari. Maka diperolehlah kesepakatan antar kedua belah pihak, setelah
keduanya menulis suatu perjanjian menyangkut hal ini- untuk meunda keputusan
tersebut sampai bulan Ramadhan kemudian setelah itu kedua Hakin tersebut
bertemu di Daumatul Jadal. Setelah kesepakatan ini orang-orang pun bubar dan
kembali ke tempat masing-masing.
Setelah batas
waktu yang ditentukan habis dan bulan Ramadhan tahun 37 Hijriah telah datang.
Kedua kelompok ini berkumpul di Daumatul Jandal. Setelah keduanya memanjatkan
puja-puji kepada Allah dan saling menyampaikan nasehat, akhirnya diperoleh
kesepekatan agar disiapkan lembar catatan dan seorang penulis yang akan
mencatat semua yang telah disepakati kedua belah pihak. Nyatanya kedua belah
pihak tidak mencapai kata sepakat tentang siapa urusan ummat ini(khilafah) akan
diserahkan. Abu Musa Al ‘Ash’ari setuju mencopot Ali dan Mu’awiyah kemudian
tidak memilih untuk Khilafah kecuali Abdullah bin Umar, tetapi ia sendiri tidak
mau ikut campur dalam urusan ini.
Saat itu kedia
Hakim telah sepakat untuk mencopot Ali dan Mu’awiyah kemudian keduanya harus
menyerahkan urusan ini kepada syura kaum Muslimin guna menentukan pilihan
mereka sendiri. Kemudian keduanya mendatangi para pendukungnya masing-masing.
Amer bin Al ‘Ash mempersilahkan Abu Musa Al ‘Ash’ari terlebih dahulu untuk
mengumumkan apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Lalu Abu Musa Al
‘Ash’ari maju. Setelah memanjakan pujian kepada Allah dan shalawat kepada
Rasulullah saw, ia berkata, “Wahai manusia, setelah membahas urusan ummat
ini kami berkesimpulan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik dan lebih dapat
mewujudkan persatuan selain dari apa yang telah aku dan kami sepakati. Yaitu
kami mencopot Ali dan Mu’awiyah.”
Setelah
meyampaikan kalimatnya, Abu Musa Al ‘Ash’ari mundur maka tiba giliran Amer
untuk menyampaikan kalimatnya. Setelah memanjatkan pujian kepada Allah kemudian
Amer menyatakan, “Sesungguhnya ia (Abu Musa) telah menyatakan apa yang telah
kalian dengar. Ia telah mencopot
kawannya dan aku pun telah mencopotnya sebagaimana dia. Tetapi aku mengukuhkan
kawanku Mu’awiyah karena sesungguhnya ia adalah “putra mahkota” Utsman bin
Affan, penuntut darahnya dan orang yang paling berhak menggantikannya”.
Setelah tahkim
ini orang-orang pun bubar dengan rasa kecewa dan tertipu, kemudian kembali
ke negerinya masing-masing. Amer dan kawan-kawannya menemui Mu’awiyah guna
menyerahkan Khilafah kepadanya. Sedangkan Abu Musa pergi ke Mekkah karena malu
kepada Ali dan menceritakan peristiwa tersebut.[21]
Dalam
pemerintahannya ia banyak mengalami pertentangan karena ada anggapan Ali tidak
mampu mengungkap pembunuhan Utsman bahkan Ali dituduh sebagai dalang pembunuhan
tersebut. Kelompok Khawarij bahkan menyimpulkan bahwa penyebab perpecahan kaum
muslimin adalah tiga orang yaitu Ali, Muawiyah dan Amr ibn ‘Asy. Agar umat
Islam kembali bersatu, maka ketiganya harus dibunuh. Ketika rencana tersebut
akan dilaksanakan, ternyata hanya Ali yang berhasil dibunuh.
Ali ibn Abi
Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi
perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa
yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena
pembunuhan oleh Abdurrahman ibn Muljam, seseorang yang berasal dari golongan
Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada
tanggal 19Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21
Ramadhan tahun 40 H. Ali dikuburkan secara rahasia di Najar, bahkan ada
beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.[22]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga
wujud, (1) Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud
kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivis kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat,
dan (3) wujud benda, yaitu wujud
kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu
kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem
kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Jadi, kebudayaan
menurut definisi pertama, adalah wujud ideal dalam definisi Koentjaraningrat,
sementara menurut definisi terakhir, kebudayaan mencakup juga peradaban, tetapi
tidak sebaliknya.[23]
Dari pembahasan keempat
khalifah yang memimpin setelah wafat nya rasul dapat dipahami bahwa,
pemerintahan al-Khulafa’ ar-Rasyidin adalah pemerintahan yang mendapatkan petunjuk
karena betul-betul mendapatkan petunjuk karena betul-betul orang yang berlaku
baik, jujur, sabar dalam berbagai hal serta betul-betul menurut pada teladan Nabi SAW.[24]
Islam pada masa al-Khulafa’
ar-Rasyidin berkembang sangat pesat, dimana dimulai setelah kedaulatan Nabi
hingga ke Timur Tengah dan bahkan keluar daerah itu. Islam dikembangkan dengan
mengajarkan nilai-nilai demokratis
terutama dalam pengangkatan seorang
khalifah. Ini bisa dilihat dalam berbagai peristiwa pengangkatan al-Khulafa’ ar-Rasyidin walaupun caranya berbeda
tetapi intinya tetap sama yaitu menjunjung nilai bermusyawarah untuk mufakat.
DAFTAR PUSTAKA
Gazali, M, Ulumul
Qur’an, (Banjarmasin: Insitut Agama
Islam Negeri Antasari, 2000)
Ramadhan,
Muhammad Sa’id, Sirah Nabawiyah dan Sejarah Singkat Khilafah Rasyidah, (Jakarta:
Robbani press, 1995)
Rasyidi, Badri,
Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: CV Armico, 1987)
Syukur, Fatah, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011)
Wikipedia,
Baitul Mal, dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Baitul_Mal?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C7067866396, diakses pada 3
Oktober 2016
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005)
[1] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 1
[2] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 1-2
[3] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada, 2005), hlm. 2-3
[4] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 4-5
[5] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 35
[6] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 35-36
[7] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 50
[8] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 51.
[9] Muhammad Sa’id
Ramadhan, Sirah Nabawiyah dan Sejarah Singkat Khilafah Rasyidah 3 (Jakarta:
Robbani Press, 1995), 355.
[10] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 51
[11] Muhammad Sa’id
Ramadhan, Sirah Nabawiyah dan Sejarah Singkat Khilafah Rasyidah 3 (Jakarta:
Robbani Press, 1995), 356-357
[12]Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 52
[13] Badri Rasyidi, Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: CV.
Armico, 1987), hlm. 25
[14] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 37
[15] Wikipedia, Baitul
Mal, dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Baitul_Mal?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C7067866396, diakses pada 3 Oktober 2016
[16] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 38
[17] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 54-57
[18] M. Gazali, Ulumul
Qur’an, (Banjarmasin: Insitut Agama Islam Negeri Antasari, 2000), hlm 7
[19] M. Gazali, Ulumul
Qur’an, (Banjarmasin: Insitut Agama Islam Negeri Antasari, 2000), hlm 8
[20] M. Gazali, Ulumul
Qur’an, (Banjarmasin: Insitut Agama Islam Negeri Antasari, 2000), hlm 8
[21] Muhammad Sa’id
Ramadhan, Sirah Nabawiyah dan Sejarah Singkat Khilafah Rasyidah 3, 407-413
[22] Abdurrahman
Mas’ud, Sejarah Peradaban Islam, 57-60
[23] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 1-2
[24]
Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar