Selasa, 29 November 2016

Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin



DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................2
PENDAHULUAN....................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................5
PENUTUP..............................................................................................................19












BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, maupun individu. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu tanpa memahami sejarah, maka proses kehidupan tidak akan dapat diketahui. Melalui sejarah pulalah manusia dapat mengambil banyak pelajaran dari proses kehidupan suatu  umat, bangsa, negara, dan sebagainya. Di antara pelajaran penting yang dapat diambil dari sejarah adalah mengambil sesuatu yang baik dari suatu umat, bangsa dan negara untuk senantiasa dilestarikan dan dikembangkan. Sedangkan terhadap hal-hal yang tidak baik, sedapat mungkin ditinggalkan dan dihindari.
            Melalui sejarah kita dapat mengetahui betapa umat islam pernah mencapai suatu kejayaan yang diakui oleh dunia international. Pada saat itu banyak orang-orang non Islam yang belajar kepada ilmuwan muslim, baik secara langsung maupun tidak. Banyak karya-karya tokoh ilmuwan muslim yang dipakai sebagai referensi ilmuwan Eropa sampai hampir tujuh abad, misalnya karya Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun,  al-Hawarizmi dan sebagainya. Kejayaan itu tentu tidak dapat dicapai begitu saja, tanpa adanya suatu sebab yaitu usaha maksimal dari para ilmuwan muslim dan dukungan sarana dan prasarana dari donator, sebagaimana kejayaan yang pernah dicapai masa Abbasiyah periode awal.
            Perkembangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabat merupakan masa keemasan, hal itu bisa terlihat bagaimana kemurniaan Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Rasulullah SAW. Kemudian pada zaman selanjutnya yaitu zaman para sahabat, terkhusus pada zaman khalifah yang empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang dengan pesat. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang sangat gigih dalam mempertahankan dan juga dalam menyebarkan Islam sebagai agama Tauhid yang diridhoi.
            Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban kearah yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa Islam pada zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan islam yang luar biasa pengaruhnya. Namun yang terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman sekarang ini seolah kita melupakannya. Sehubungan dengan itu perlu kiranya untuk melihat kembali dan mengkaji kembali  bagaimana sejarah Islam yang sebenarnya, khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin.
            Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas tentang “Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin”

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi sejarah  peradaban islam ?
2. Bagaimana sejarah peradaban islam pada masa Khulafaur Rasyidin ?

C.  Tujuan

1. Untuk menjelaskan definisi sejarah peradaban islam
2. Untuk menjelaskan sejarah peradaban islam pada masa Khulafaur Rasyidin

D. Kegunaan

1. Kegunaan Teoritis

       Makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan  kepada pembaca agar bisa lebih tahu tentang sejarah peradaban islam, khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin.

2. Keguanaan  Praktis

       Makalah ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan kepada pembaca tentang bagaimana perjuangan para sahabat Nabi (Khulafaur Rasyidin) dalam memperjuangkan agama Tauhid, supaya pembaca bisa meneladani sifat dan rasa peduli para sahabat kepada agama Islam yang diridhoi untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Peradaban Islam

            Peradaban islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyyah. Kata Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” dan “peradaban”. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat  mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi(agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.[1]
            Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivis kelakuan berpola dari manusia dalam  masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud  kebudayaan  sebagai benda-benda hasil karya. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Jadi, kebudayaan menurut definisi pertama, adalah wujud ideal dalam definisi Koentjaraningrat, sementara menurut definisi terakhir, kebudayaan mencakup juga peradaban, tetapi tidak sebaliknya.[2]
            Landasan “Peradaban Islam” adalah “Kebudayaan Islam” terutama  wujud idealnya, sementara landasan “Kebudayaan  Islam” adalah agama. Jadi, dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, dan rasa manusia, maka agama Islam  adalah wahyu dari Tuhan .[3]
            Kajian tentang “Peradaban” Islam sekarang ini memang sudah menganut pendapat bahwa  kebudayaan Islam tidak lagi satu, tetapi sudah terdapat beberapa  “peradaban” Islam. Akan tetapi, tampaknya “peradaban-peradaban” Islam yang disorot dalam kajian-kajian Islam sampai waktu belum lama ini  hanya terbatas pada empat “peradaban” Islam yang dominan. Semuanya  sangat berkaitan pada empat kawasan, yaitu kawasan pengaruh kebudayaan Arab (Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Spanyol Islam), kawasan pengaruh kebudayaan Persia (Iran dan negara-negara Asia Tengah), kawasan pengaruh kebudayaan Turki, dan kawasan pengaruh kebudayaan India Islam. Hal ini tampaknya, sangat ditentukan oleh perkembangan politik Islam sampai periode pertengahan. Kalau pada periode klasik, peran Arab sangat menonjol karena memang Islam hadir disana, maka pada periode  pertengahan muncul tiga kerajaan besar Islam yang mewakili tiga kawasan budaya, yaitu kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal di India. Kerajaan-kerajaan Islam yang lain, meski juga ada yang cukup besar, tetapi jauh lebih lemah dibandingkan dengan tiga kerajaan ini, bahkan berada dalam pengaruh  salah satu diantaranya. Kajian politik rupanya masih sangat besar mempengaruhi  kajian kebudayaan  dan peradaban. Studi Islam seperti ini, maksudnya kajian Islam yang masih membatasi empat kawasan itu, masih terlihat dalam tulisan-tulisan ilmuwan kontemporer yang mengkaji persoalan keislaman. [4]


B. Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin

            Nabi Muhammad SAW. Tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum Muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah  tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena  masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dariumat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.[5]
            Sebagai  pemimpin umat Islam setelah rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut Khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan yang sering disebut Khulafaurrasyidin.[6]
            Al-Khulafa’ ar-Rasyidin bermakna pengganti-pengganti  rasul yang cendekiawan. Adapun pencetus nama Al-khulafa’ ar-Rasyidin adalah dari orang-orang muslim yang paling dekat dengan Rasul setelah meninggalnya beliau. Mengapa demikian, karena mereka menganggap bahwa 4 tokoh sepeninggal Rasul itu orang yang selalu mendampingi Rasul ketika beliau menjadi pemimpin dan dalam menjalankan tugas.[7]


1. Abu Bakar Ash-Shiddiq

Namanya ialah Abdullah ibn Abi Quhaifah Attamini. Di zaman pra Islam bernama Abdullah ibn Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Julukannya Abu Bakar (Bapak Pernagi) karena dari pagi-pagi betul memeluk agama Islam, gelarnya ash-Shiddiq karena ia selalu membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ Mi’raj.[8]
Setelah Rasulullah wafat, kaum muslimin mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka membicarakan siapakah sepatutnya yang menggantikan Rasulullah SAW dalam memimpin kaum Musliin dan mengurus persoalan ummat. Setelah diskusi, pembahasan, dan pengajuan sejumlah usulan; tercapailah kesepakatan bulat bahwa Khalifah Rasulullah pertama sesudah kematian beliau adalah orang yang pernah menjadi Khalifah (pengganti) Nabi SAW dalam mengimami kaum Muslimin pada saat beliau sakit. Itulah Ash Shiddiq – sahabat beliau yang terbesar dan pendamping di dalam gua, Abu Bakar ra.[9]
Abu Bakar memangku jabatan Khalifah selama dua tahun lebih sedikit, yang dihabiskannya terutama untuk mengatasi berbagai macam masalah dalam negeri yang muncul akibat wafatnya Nabi, dan Abu Bakar telah membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk bersatu mau melanjutkan tugas membangun mulya Nabi. Yang pertama kali menjadi perhatian Khalifah adalah merealisasikan keinginan Nabi yang hampir tidak terlaksana. Yaitu mengirimkan ekspedisi ke perbatasan Syiria di bawah pimpinan Usamah untuk membalas pembunuhan ayahnya, Zaid, dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mu’tah.
Prioritas lain yang laksanakan oleh pemerintahan Abu Bakar adalah hilangnya beberapa orang Arab dari ikatan Islam, yang lebih dikenal dalam Islam ialah “Riddah”. Mereka melepaskan kesetiaan dengan tidak memberikan baiat kepada Khalifah yang baru, dan juga mereka menganggap bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Nabi dengan sendirinya batal disebabkan oleh kematian Nabi.[10]
Setelah resmi menjadi Khalifah. Abu Bakar segera memberangkatkan pasukan Usamah. Kemudian Usamah bergerak bersama pasukannya. Setiap kali melewati suatu kabilah yang para warganya banyak melakukan kemurtadan. Usamah berhasil mengembalikannya lagi (kepada Islam). Sesampainya di negeri (jajahan) Romawi, tempat dimana ayahnya terbunuh, Usamah beserta pasukannya menyerbu mereka hingga Allah memberikan kemenangan.
Kemudian memberangkatkan pasukan untuk memerangi orang-orang yang murtad dan tidak mau membayar zakat. Pasukan ini dibaginya sepuluh panji, masing-masing pemegang panji diperintahkan untuk menuju ke suatu daerah.[11]
Salah satu jasa terbesar dalam pemerintahan Abu bakar adalah mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang ada waktu itu masih berserakan dan belum dibukukan dalam satu mushaf. Khalifah kemudian menugaskan Zaid ibn Sabit melaksanakan hal tersebut. Setelah Abu Bakar meninggal, kitab al-Qur’an yang sudah dibukukan tersebut kemudian disimpan oleh salah satu istri Nabi, yaitu Khafsah binti Umar ibn Khaththab.
Setelah beliau meninggal, Umarlah sebagai pengganti beliau atas kemauan Abu Bakar sendiri. Kebijakan tersebut dikabulkan oleh umat islam dan sekaligus mereka membaiat Khalifah Umar ibn al-Khaththab.
Khalifah Abu Bakar meninggal pada hari Senin 23 Agustus 624 M. Setelah kurang lebih 15 hari berbaring di tempat tidur. Dia berusia 63 tahun dan kekhalifahan berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 11 hari.[12]

      2.  Umar bin Khattab

            Pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah, banyaklah daerah yang memusuhi Islam ditundukkan.[13] Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan)  pertama terjadi, ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh kebawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir dibawah pimpinan Amr bin Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi  Waqqash,  Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadasiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq,  jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, Al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina,  Syria, sebagian besar  wilayah Persia, dan Mesir.[14]
            Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencotoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan diterbitkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan  didirikan dalam rangka memisahkan  lembaga  yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, maka dari  itu kepolisian dibentuk. Demikian pula pekerjaan umum. Umar  juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan kalender tahun hijriah.
            Baitul Mal berasal dari bahasa Arab “bait” yang berarti rumah dan “al-mal” yang berarti harta jadi “Baitul Mal” berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Baitul Mal dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat (al-makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara.
            Selama memerintah, Umar bin Khattab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan  dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat Ibnu Katsir (700-774 H/1300-1373 M), penulis  sejarah dan mufasir, tentang hak seorang khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan  sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang diantara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.[15]
            Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk  memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib.[16]

    3. ‘Utsman bin ‘Affan

Nama lengkapnya ialah Utsman ibn Affan ibn Abdil Ash ibn Umayyah dari pihak Quraisy. Ia memeluk Islam lantaran ajakan Abu Bakar, dan menjadi salah seorang sahabat dekat dengan Nabi saw. Melalu persaingan persaingan ketat dengan Ali, tim formatur yang dibentuk oleh Umar ibn Khaththab akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Utsman ibn Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua Khalifah di zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidin yaitu 12 tahun. Para pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Utsman ibn Affan menjadi dua periode, enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir adalah merupakan masa pemerintahan yang buruk.
Separuh pertama pada pemerintahan Utsman, beliau melanjutkan sukses pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yan terencanakan secara cermat dan simultan di semua front.
Separuh pemerintahan Utsman ibn Affan yang kedua muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam sendiri. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijakaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi.
Prestasi terpenting bagi Khalifah Utsman ialah menulis kembali al-Qur’an yang telah ditulis pada zaman Abu Bakar yang pada waktu itu disimpan oleh Khafsoh binti umar.Setelah penulisan al-Qur’an Utsman mengirimkan Mushaf ke setiap kota besar, serta beliau memerintahkan untuk membakar Mushaf yang lain dari yang ditulis oleh badan yang terdiri dari 4 orang.
Ustman juga berjasa membangun bendungan untuk pengaturan perairan di kota-kota, membangun jalan-jalan, jembatan, masjid dan memperluas masjid Nabawi di Madinah.
Situasi politik pada masa akhir pemerintahan Utsman semakin mencekam dan timbul pemberontakan-pemberontakan yang mengakibatkan terbunuh Ustman. Ketika pemberontak berhasil memasuki dan membunuh Ustman saat sedang membaca al-Qur’an. Ustman akhirnya wafat sebagai syahid pada hari Jum’at tanggal 17 Dzulhijah 35 H./655M. Beliau dimakamkan di pekuburan Baqi di Madinah.[17]
 a)  Pengumpulan al-Qur’an
        pengumpulan al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan mempunyai latar belakang yang relatif berbeda dengan pengumpulan al-Qur’an pada masa sebelumnya. Pada periode pengumpulan yang ketiga ini lebih dilatarbelakangi oleh perselisihan yang berkenaan dengan perbedaan cara membaca al-Qur’an. Dalam perselisihan itu, masing-masing merasa bahwa bacaannyalah yang paling benar, sedang orang lain yang berbeda dengannya dianggap tidak benar. Perbedaan bacaan itu  muncul berkaitan dengan meluasnya wilayah Daulah Islamiah dan berpencarnya para sahabat ke berbagai wilayah tertentu. Para sahabat yang pergi ke wilayah tertentu kemudian  mengajarkan al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang pernah didengarnya dari Nabi SAW. Penduduk Syam membaca al-Qur’an menurut bacaan Ubay bin Ka’b, guru mereka. Penduduk Kufah membaca al-Qur’an mengikuti  bacaan Abu Musa al-Asy’ari, guru mereka, dan seterusnya.[18]
        Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Hudzaifah bin Yaman dalam suatu perjalanannya bersama-sama penduduk Syam dan Irak untuk menaklukkan wilayah Armenia dan Azerbaijan dikejutkan  oleh adanya perselisihan tersebut. Hudzaifah kemudian melaporkan peristiwa yang memprihatinkan itu kepada khalifah Utsman bin Affan. Untuk menindak-lanjuti laporan tersebut, khalifah kemudian meminjam mushaf yang berada ditangan Hafshah untuk disalin dan digandakan. Langkah selanjutnya adalah menunjuk tiga sahabat untuk ditugaskan menyalin mushaf tersebut kedalam beberapa mushaf. Utsman berpesan, apabila dalam proses penyalinan tersebut ditemukan perbedaan dengan apa yang dimiliki oleh Zaid bin Tsabit, agar lidah Quraisy dijadikan sebagai pengadil atau dijadikan sebagai alternatif pengganti. Karena menurut Utsman, al-Qur’an diturunkan dalam lidah mereka. Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-Ash dan Abdurrahman kemudian berhasil menunaikan tugas yang diberikan oleh khalifah  dengan baik. Beberapa mushaf yang sudah digandakan itu kemudian dikirim ke wilayah-wilayah Kufah, Basrah, Damaskus, Mekkah dan Madinah. Utsman sendiri menyisakan satu mushaf untuk dirinya, yang kemudian dikenal dengan mushaf al-Imam.[19]
        Dengan pengumpulan al-Qur’an periode terakhir ini, tidak berarti bahwa mushaf atau kitab al-Qur’an yang disalin pada masa Utsman sudah menemukan bentuknya seperti yang ada sekarang ini. Untuk sampai kebentuk seperti yang ada dewasa ini, memakan waktu yang relatif panjang. Yang agaknya pasti, bahwa upaya Utsman dan para sahabat yang lain adalah agar umat Islam terhindar dari perpecahan di seputar bacaan al-Qur’an dan keotentikan serta keaslian dapat terjaga dan terpelihara.[20]

     4. Ali bin Abi Thalib

   Ali adalah putera Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, ia adalah sepupu Nabi Muhammad saw. Ali diangkat sebagai Khalifah dalam situasi politik yang kurang mendukung. Sebagai khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 6 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintahan Khalifah sebelumnya, Utsman ibn Affan.
Ali kembali ke Kufah yang telah dijadikan sebagai pusat Khilafah. Sesampainya di Kufah, Ali segera mengutus Jurair bin Abdullah Al Bajli kepada Mua’wiyah di Syam guna mengajak bergabung ke dalam apa yang telah dilakukan orang-orang, dan memberitahukan bahwa para Muhajirin dan Anshor telah sepakat untuk membai’atnya. Tetapi Mu’awiyah berpendapat bahwa bai’at Ali tidak sah karena berpencarnya Ahlul halli wal Aqdi dari para sahabat di berbagai negeri, padahal bai’at itu tidak akan dinyatakan sah kecuali dengan kehadiran mereka semua. Oleh sebab itu, Mu’awiyah tidak bersedia memenuhi ajakan Ali, sampai para pembunuh Utsman diqishash kemudian kaum Muslimin memilih sendiri Imam mereka.
Demi mendengar penolakan Mu’awiyah, Ali langsung menanggapinya sebagai “Pemberontakan” yang keluar dari Jama’atul Muslimin dan Imam mereka. Kemudian Ali berserta pasukannya berangkat pada tanggal 12 Rajab tahun 36 Hijriah lalu pasukan dikonsentrasikan di Nakhilah.
Setelah mengetahui hal ini, Mu’awiyah pun dengan serta merta mengerahkan pasukannya dari Syam, hingga kedua pasukan ini bertemu di daratan Shiffin di tepi sungai Furat. Selama dua bulan atau lebih kedua pihak saling bergantian mengirim utusan. Selama pembahasan dan perundingan ini barangkali telah terjadi pertempuran-pertempuran kecil dan manuver.
Keadaan ini terus berlangsung hingga datang bulan Muharram tahun 37 Hijriah. Kemudian Mu’awiyah dan Ali sepakat untuk melakukan “gencatan senjata” selama sebulan, dengan harapan dapat dicapai ishlah(perdamaian). Tetapi masa “gencatan senjata” ini berakhir tanpa membuahkan hasil yang diharapkan.
Pada hari pertama dan kedua, pertempuran berlangsung dengan sengit. Perang berlangsung selama tujuh hari tanpa ada pihak yang kalah atau menang. Tetapi pada akhirnya Mu’awiyah dan pasukannya semakin terdesak oleh pasukan Ali. Ali dan pasukannya nyaris mencatat kemenangan. Saat itulah Mu’awiyah dan amer bin Al Ash berunding. Amer bin Al Ash mengusulkan supaya Mu’awiyah mengajak penduduk Iraq untuk berhukum kepada Kitab Allah.lalu Mu’awiyah memerintahkan orang-orang supaya mengangkat Mush-haf di ujung tombak. Ketika pasukan Ali melihat hal ini –mereka sudah hampir memperoleh kemenangan- terjadilah perselisihan diantara mereka : Ada yang setuju untuk berhukum kepada Kitab Allah dan ada pula yang tidak menghendaki kecuali peperangan karena siapa tahu hal itu hanyalah tipu daya.
Sebenarnya Ali cenderung pada pendapat yang terakhir, tetapi ia terpaksa mengikuti pendapat pertama yang pendukungnya mayoritas. Kemudian Ali mengutus Al Asy’ats bin Qais kepada Mu’awiyah guna menanyakan apa sebenarnya yang dikehendakinya. Mu’awiyah menjelaskan, “Mari kita kembali kepada Kitab Allah. Kami pilih sorang wakil yang kami setujui dan kalian pilih pula seorang wakil yang kalian setujui. Kemudian kita semua menyumpah kedua wakil tersebut untuk memutusan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Apa pun keputusan kedua wakil tersebut wajib kita ikuti”.
Kemudian penduduk Syam memilih Amer bin Al Ash sedangkan penduduk Iraq memilih Abu Musa Al ‘Asy’ari. Maka diperolehlah kesepakatan antar kedua belah pihak, setelah keduanya menulis suatu perjanjian menyangkut hal ini- untuk meunda keputusan tersebut sampai bulan Ramadhan kemudian setelah itu kedua Hakin tersebut bertemu di Daumatul Jadal. Setelah kesepakatan ini orang-orang pun bubar dan kembali ke tempat masing-masing.
Setelah batas waktu yang ditentukan habis dan bulan Ramadhan tahun 37 Hijriah telah datang. Kedua kelompok ini berkumpul di Daumatul Jandal. Setelah keduanya memanjatkan puja-puji kepada Allah dan saling menyampaikan nasehat, akhirnya diperoleh kesepekatan agar disiapkan lembar catatan dan seorang penulis yang akan mencatat semua yang telah disepakati kedua belah pihak. Nyatanya kedua belah pihak tidak mencapai kata sepakat tentang siapa urusan ummat ini(khilafah) akan diserahkan. Abu Musa Al ‘Ash’ari setuju mencopot Ali dan Mu’awiyah kemudian tidak memilih untuk Khilafah kecuali Abdullah bin Umar, tetapi ia sendiri tidak mau ikut campur dalam urusan ini.
Saat itu kedia Hakim telah sepakat untuk mencopot Ali dan Mu’awiyah kemudian keduanya harus menyerahkan urusan ini kepada syura kaum Muslimin guna menentukan pilihan mereka sendiri. Kemudian keduanya mendatangi para pendukungnya masing-masing. Amer bin Al ‘Ash mempersilahkan Abu Musa Al ‘Ash’ari terlebih dahulu untuk mengumumkan apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Lalu Abu Musa Al ‘Ash’ari maju. Setelah memanjakan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Rasulullah saw, ia berkata, “Wahai manusia, setelah membahas urusan ummat ini kami berkesimpulan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik dan lebih dapat mewujudkan persatuan selain dari apa yang telah aku dan kami sepakati. Yaitu kami mencopot Ali dan Mu’awiyah.”
Setelah meyampaikan kalimatnya, Abu Musa Al ‘Ash’ari mundur maka tiba giliran Amer untuk menyampaikan kalimatnya. Setelah memanjatkan pujian kepada Allah kemudian Amer menyatakan, “Sesungguhnya ia (Abu Musa) telah menyatakan apa yang telah kalian dengar.  Ia telah mencopot kawannya dan aku pun telah mencopotnya sebagaimana dia. Tetapi aku mengukuhkan kawanku Mu’awiyah karena sesungguhnya ia adalah “putra mahkota” Utsman bin Affan, penuntut darahnya dan orang yang paling berhak menggantikannya”.
Setelah tahkim ini orang-orang pun bubar dengan rasa kecewa dan tertipu, kemudian kembali ke negerinya masing-masing. Amer dan kawan-kawannya menemui Mu’awiyah guna menyerahkan Khilafah kepadanya. Sedangkan Abu Musa pergi ke Mekkah karena malu kepada Ali dan menceritakan peristiwa tersebut.[21]
Dalam pemerintahannya ia banyak mengalami pertentangan karena ada anggapan Ali tidak mampu mengungkap pembunuhan Utsman bahkan Ali dituduh sebagai dalang pembunuhan tersebut. Kelompok Khawarij bahkan menyimpulkan bahwa penyebab perpecahan kaum muslimin adalah tiga orang yaitu Ali, Muawiyah dan Amr ibn ‘Asy. Agar umat Islam kembali bersatu, maka ketiganya harus dibunuh. Ketika rencana tersebut akan dilaksanakan, ternyata hanya Ali yang berhasil dibunuh.
Ali ibn Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdurrahman ibn Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H. Ali dikuburkan secara rahasia di Najar, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.[22]






BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

                Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivis kelakuan berpola dari manusia dalam  masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud  kebudayaan  sebagai benda-benda hasil karya. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Jadi, kebudayaan menurut definisi pertama, adalah wujud ideal dalam definisi Koentjaraningrat, sementara menurut definisi terakhir, kebudayaan mencakup juga peradaban, tetapi tidak sebaliknya.[23]
       Dari pembahasan keempat khalifah yang memimpin setelah wafat nya rasul dapat dipahami bahwa, pemerintahan al-Khulafa’ ar-Rasyidin  adalah pemerintahan yang mendapatkan petunjuk karena betul-betul mendapatkan petunjuk karena betul-betul orang yang berlaku baik, jujur, sabar dalam berbagai hal serta betul-betul menurut pada teladan  Nabi SAW.[24]
       Islam pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin berkembang sangat pesat, dimana dimulai setelah kedaulatan Nabi hingga ke Timur Tengah dan bahkan keluar daerah itu. Islam dikembangkan dengan mengajarkan nilai-nilai  demokratis terutama  dalam pengangkatan seorang khalifah. Ini bisa dilihat dalam berbagai peristiwa pengangkatan al-Khulafa’ ar-Rasyidin walaupun caranya berbeda tetapi intinya tetap sama yaitu menjunjung nilai bermusyawarah untuk mufakat.
DAFTAR PUSTAKA
Gazali, M, Ulumul Qur’an,  (Banjarmasin: Insitut Agama Islam Negeri Antasari, 2000)
Ramadhan, Muhammad Sa’id, Sirah Nabawiyah dan Sejarah Singkat Khilafah Rasyidah, (Jakarta: Robbani press, 1995)
Rasyidi, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Armico, 1987)
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011)
Wikipedia, Baitul Mal, dalam  https://id.m.wikipedia.org/wiki/Baitul_Mal?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C7067866396, diakses pada 3 Oktober 2016

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005)


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 1
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 1-2
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 2-3
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 4-5
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 35
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 35-36
[7] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 50
[8] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 51.
[9] Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah dan Sejarah Singkat Khilafah Rasyidah 3 (Jakarta: Robbani Press, 1995), 355.
[10] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 51
[11] Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah dan Sejarah Singkat Khilafah Rasyidah 3 (Jakarta: Robbani Press, 1995), 356-357
[12]Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 52
[13] Badri Rasyidi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:  CV. Armico, 1987), hlm. 25
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 37
[15] Wikipedia, Baitul Mal, dalam  https://id.m.wikipedia.org/wiki/Baitul_Mal?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C7067866396, diakses pada 3 Oktober 2016
[16] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 38
[17] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 54-57
[18] M. Gazali, Ulumul Qur’an, (Banjarmasin: Insitut Agama Islam Negeri Antasari, 2000), hlm 7
[19] M. Gazali, Ulumul Qur’an, (Banjarmasin: Insitut Agama Islam Negeri Antasari, 2000), hlm 8
[20] M. Gazali, Ulumul Qur’an, (Banjarmasin: Insitut Agama Islam Negeri Antasari, 2000), hlm 8
[21] Muhammad Sa’id Ramadhan, Sirah Nabawiyah dan Sejarah Singkat Khilafah Rasyidah 3, 407-413
[22] Abdurrahman Mas’ud, Sejarah Peradaban Islam, 57-60
[23] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 1-2


[24] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2011), 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar