Selasa, 29 November 2016

Ontologi



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Filsafat membahas segala sesuatu yang ada(ontologi) bahkan yang mungkin ada baik bersifat tidak nyata atau nyata meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Ontologi dikenal sebagai satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari yunani. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berpikir, dan pola berpikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realita.
            Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan  atau menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya. Jadi ontologi merupakan studi yang terdalam dari setiap hakikat kenyataan, seperti misalnya (a) Dapatkah manusia sungguh-sungguh memilih  sesuatu?, (b) Apakah ada Tuhan di dunia ini?, (c) Apakah jiwa dapat dibedakan dengan badan?, (d) Apakah hidup dan mati itu?, dan sebagainya.
            Orang yang berpikir ontologi, kalau tidak hati-hati dengan hal-hal yang sering berhubungan dengan sebuah agama. Agama selalu berpikir tentang ada atas dasar iman. Filsafat ilmu ontologi tidak mengajak berdebat antara ilmu dengan  iman. Semakin kritis seseorang berpikir tentang ada, maka dunia ini seolah-olah semakin rumit dan semakin menarik untuk dikaji. Dengan ontologi, orang akan mampu membedakan, mana ilmu, mana pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan mana yang non ilmu.
            Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk memberikan pemahaman lebih dalam tentang ‘Ontologi’.

B. Rumusan Masalah
     1. Apa definisi ontologi ?
     2. Apa saja aliran-aliran yang ada dalam ontologi ?
     3. Apa objek kajian ontologi ?
C. Tujuan
     1. Untuk menjelaskan definisi ontologi
     2. Untuk menjelaskan aliran-aliran yang ada dalam ontologi
     3. Untuk menjelaskan objek kajian ontologi













BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ontologi
            Ontologi adalah cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan.[1] Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti ‘yang berada’, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian, ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada.[2]
            Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada yakni realitas atau kenyataan yang sebenarnya. Jadi, hakikat ada adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan yang sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah. Jadi, Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara mendasar dan cara berbeda dari suatu yang berwujud atau yang tidak berwujud dari kategori-kategori yang logis, yang berlainan dapat dikatakan ada, dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.[3]
            Pada saat ilmu pengetahuan berkembang, dalam tahap ontologis ini manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Dalam menghadapi masalah tertentu manusia mulai menentukan batas-batas keberadaan masalah tersebut. Membatasi pada masalah yang memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, kemudian menelaah dan  mencari pemecahan jawabannya. Jelasnya, secara ontologis objek ilmu pengetahuan adalah berupa wujud, fakta, gejala ataupun peristiwa yang dapat diindera maupun dipikirkan manusia.[4]
            Argumen antologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori ideanya. Menurut plato tiap-tiap sesuatu di alam semesta ini mempunyai idea. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep yang menyeluruh dari tiap sesuatu. Idea inilah yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-idea itu berada di balik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang terlihat yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera ini hanyalah khayal dan ilusi belaka.[5]
            Sementara itu, secara istilah dalam kajian filsafat, terdapat sejumlah pengertian umum tentang ontologi, yakni: pertama, studi tentang ciri-ciri inti dari yang ada dalam dirinya sendiri yang berada dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari yang ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti:”Apa itu ada-dalam-dirinya-sendiri?” “Apa hakikat ada sebagai ada?”. Kedua, cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi,  aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu, eksistensi/noneksistensi, esensi, dan keniscayaan. Ketiga, cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat ada, menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya, dan menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu. Keempat, cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan “Apa arti ada dan berada?, dengan menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan ‘ada dan berada’. Kelima, cabang filsafat yang menyelidiki status realitas suatu hal, menyelidiki jenis realitas yang dimiliki hal-hal, dan yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas dan ilusi.[6]
            Dengan alasan itulah, karena begitu luasnya kajian ontologi, terdapat berbagai aliran ontologi dalam menguraikan hakikat kenyataan. Bermacam-macam aliran ontologi dalam menyusun atau membangun realitas tersebut sesuai dengan pola pikir mereka masing-masing.[7]
B. Aliran-aliran yang ada dalam Ontologi
     1. Aliran Monoisme
                        Istilah monisme berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti tunggal atau sendiri.[8] Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paham monoisme kemudian terbagi menjadi ke dalam dua aliran, yaitu aliran materialisme dan aliran idealisme. Aliran materialisme menolak hal-hal yang tidak terlihat. Bagi materialisme, ada yang sesungguhnya adalah yang keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama sekali bergantung pada benda. Berbeda dengan aliran materialisme, menurut aliran idealisme semuanya serba ide atau roh. Aliran ini menganggap bahwa hakikat segala sesuatu yang ada berasal dari roh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak menepati ruang.[9]
     2. Aliran Dualisme
       Istilah dualisme berasal dari bahasa Latin, dualis yang berarti bersifat dua.[10] Aliran dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun run muncul bukan karena materi. Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya.[11]
3. Aliran Pluralisme
       Istilah pluralisme berasal dari bahasa Latin pluralis yang berarti jamak atau plural.[12] Paham pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.[13]
     4. Nihilisme
       Istilah nihilisme berasal dari bahasa latin yang secara harfiah berarti tidak ada atau ketiadaan. Secara umum, nihilisme berarti pandangan bahwa keberadaan dan hidup didunia sama sekali tidak berarti dan sama sekali tidak bermanfaat. Dalam masyarakat, nihilisme berarti kepercayaan dan ajaran bahwa keadaan masyarakat sudah demikian buruk. Secara filsofis, nihilisme berkeyakinan bahwa yang ada itu tidak ada, dan bila ada, tidak dapat diketahui. Dari keyakinan, nihilisme juga menyangkal adanya kebenaran apapun, dan bila ada, menurutnya juga tidak dapat dibuktikan.[14]
5. Agnotisisme
       Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani.[15] Dari berbagai pengertian, secara umum agnotisisme paling tidak terbagi dalam dua wacana besar. Pertama, paham yang berhubungan dengan wacana ketuhanan. Agnotisisme mengklaim  bahwa manusia tidak pernah mampu untuk mengetahui hakikat keberadaan Tuhan. Sehingga manusia tidak akan pernah bisa memberi kepastian apakah keberadaan Tuhan itu ada atau tidak. Hal ini disebabkan oleh faktor kelemahan diri manusia sendiri dalam menggambarkan keberadaan Tuhan. Kedua, paham yang berhubungan dengan realitas segala sesuatu. Dalam hal ini, agnotisisme menyatakan bahwa manusia tidak mungkin mampu mengetahui hakikat sesuatu yang berada di balik realitas.  Alam semesta dengan segala pernak-perniknya tidak akan pernah terkuak hakikat pengertiannya oleh manusia. Menurut agnotisisme, pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga tidak mungkin manusia bisa mengetahui hakikat segala sesuatu atau  realitas alam semesta, baik melalui pancaindranya maupun melalui kemampuan penalarannya.[16]
C. Objek Kajian Ontologi
     Objek kajian ontologi adalah yang ada, yaitu ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun segala sumber yang ada, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, pencipta serta pengatur serta penentu alam semesta. Studi tentang yang ada, pada tataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. [17]
                     Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kualitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, kajiannya akan menjadi kajian monisme, paralelisme, atau pluralisme. Bagi pendekatan kualitatif realitas akan menjadi aliran materialisme, idea-lisme, naturalisme, atau hilomorphisme.[18]
1. Metode dalam Ontologi
    Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkat abstraksi dalam ontologi, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi fisik menampilkan kesuluruhan sifat khas sesuatu objek; abstraksi bentuk mendeskripsikan metafisik mengenai prinsip umum menjadi yang dasar dari semua realitas. Abstraksi yang di jangkau ontologi adalah abstraksi metafisik. Metode pembuktikan dalam ontologi oleh Lorens Bagus dibedakan menjadi dua yaitu: pembuktian apriori pembuktian a posteriori.[19]
     2. Metafisika
              Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada diluar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi(2005: 14), metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat ‘keluarbiasaan’ (beyond nature), yang berda diluar pengalaman manusia (immediate experience). Menurut Achmadi, metafisika mengkaji sesuatu yang berada diluar hal-hal yang biasa yang berlaku pada umumnya (keluarbiasaan), atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada diluar kebiasaan atau diluar pengalaman manusia.[20]
a. Metafisika Plato
   Menurut Plato “idea” ada terlepas dan bendanya. Apa yang kita pegang atau lihat hanyalah bayang-bayang refleksi kita. Plato termasuk filosof idealist.
  
b. Metafisika Aristoteles
   Aristoteles memandang bahwa “orang” atau “kuda” karena pada bendanya memiliki sifat “orang” atau “kuda”. Aristoteles termasuk materialist.
c. Metafisika Neoplatonis
  Metafisika Neoplatonis banyak menggunakan interpretasi religius. Tokohnya: Plotinus dalam Islam Al Kindi, Al Farabi, dan Ibnu Sina. Kebenaran “idee” yang universal pda plato, dalam pandangan neoplatonis ditampilkan dalam sosok Tuhan.[21]
3. Asumsi
Pendapat yang telah didukung oleh beberapa teori dan fakta yang dapat dibuktikan secara rasional. Berkenaan dengan pengkajian konsep-konsep, pengandaian-pengandaian. Dengan demikian, filsafat ilmu erat kaitannya dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang digunakannya, dan juga dengan perluasan serta penyusunan cara-cara yang lebih umum dan lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.[22]


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi masalah bagaimanakah menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan dengan adanya dua kenyataan. Pertama, kenyataan yang berupa materi (kebendaan), dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kenyataan). Manusia memiliki dua sumber ilmu, yaitu ilmu lahir dan ilmu batin. Jika demikian, cukup jelas, ontologi adalah cabang filsafat ilmu yang mencoba mencermati hakikat keilmuan. Membahas ilmu dari dasar keilmuan, bentuk ilmu, wajah ilmu, dan bandingan-bandingan ilmu dengan yang lain akan menuntun manusia berpikir antologisme. Dengan alasan itulah, karena begitu luasnya kajian ontologi, terdapat berbagai aliran ontologi dalam menguraikan hakikat kenyataan. Bermacam-macam aliran ontologi dalam menyusun atau membangun realitas tersebut sesuai dengan pola pikir mereka masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Endraswara, Suwardi, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: CAPS, 2015
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013
Muhadjir,Noeng Filsafat Ilmu,Yogyakarta: Rake Sarasen, 2015
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,        dan Aksiologis, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015



[1] Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: CAPS, 2015), hlm. 90
[2] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014),  hlm. 90
[3] Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: CAPS, 2015), hlm. 90-91
[4] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,  2013), hlm159
[5] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 70-71
[6] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hlm 49-50
[7] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer,  hlm 50
[8] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 50
[9] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, 94
[10] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 51
[11] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, hlm 96
[12] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 53
[13] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, hlm  97
[14] Susanto,Filsafat Ilmu,  hlm 59-60
[15] Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: CAPS, 2015), hlm. 101
[16] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hlm 61
[17] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014),  hlm. 91
[18]Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014),  hlm. 92
[19] Susanto, Filsafat Ilmu,  hlm. 92
[20]Susanto, Filsafat ilmu, hlm. 92
[21] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasen, 2015), hlm 78-79
[22] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014),  hlm. 94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar