BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat membahas segala sesuatu
yang ada(ontologi) bahkan yang mungkin ada baik bersifat tidak nyata atau nyata
meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Ontologi dikenal sebagai satu kajian
kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari yunani. Pembahasan mengenai
ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran
itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui
kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berpikir, dan
pola berpikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai
dasar pembahasan realita.
Ontologi berusaha mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan atau
menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya. Jadi ontologi merupakan studi yang
terdalam dari setiap hakikat kenyataan, seperti misalnya (a) Dapatkah manusia
sungguh-sungguh memilih sesuatu?, (b)
Apakah ada Tuhan di dunia ini?, (c) Apakah jiwa dapat dibedakan dengan badan?,
(d) Apakah hidup dan mati itu?, dan sebagainya.
Orang yang berpikir ontologi, kalau
tidak hati-hati dengan hal-hal yang sering berhubungan dengan sebuah agama.
Agama selalu berpikir tentang ada atas dasar iman. Filsafat ilmu ontologi tidak
mengajak berdebat antara ilmu dengan
iman. Semakin kritis seseorang berpikir tentang ada, maka dunia ini
seolah-olah semakin rumit dan semakin menarik untuk dikaji. Dengan ontologi,
orang akan mampu membedakan, mana ilmu, mana pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan
mana yang non ilmu.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk memberikan pemahaman lebih
dalam tentang ‘Ontologi’.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa definisi ontologi ?
2. Apa saja aliran-aliran yang ada dalam
ontologi ?
3. Apa objek kajian ontologi ?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan definisi ontologi
2. Untuk menjelaskan aliran-aliran yang ada
dalam ontologi
3. Untuk menjelaskan objek kajian ontologi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat ilmu
yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan.[1] Istilah
ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti ‘yang
berada’, dan logos berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan
demikian, ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat
sesuatu yang ada.[2]
Pembicaraan tentang hakikat
sangatlah luas, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada yakni realitas atau
kenyataan yang sebenarnya. Jadi, hakikat ada adalah kenyataan sebenarnya
sesuatu, bukan kenyataan yang sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan
kenyataan yang berubah. Jadi, Ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang
nyata secara mendasar dan cara berbeda dari suatu yang berwujud atau yang tidak
berwujud dari kategori-kategori yang logis, yang berlainan dapat dikatakan ada,
dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai
prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir
ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.[3]
Pada saat ilmu pengetahuan
berkembang, dalam tahap ontologis ini manusia berpendapat bahwa terdapat
hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai
gejala-gejala empiris. Dalam menghadapi masalah tertentu manusia mulai
menentukan batas-batas keberadaan masalah tersebut. Membatasi pada masalah yang
memungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu, kemudian menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Jelasnya,
secara ontologis objek ilmu pengetahuan adalah berupa wujud, fakta, gejala ataupun
peristiwa yang dapat diindera maupun dipikirkan manusia.[4]
Argumen antologis ini pertama kali
dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori ideanya. Menurut plato
tiap-tiap sesuatu di alam semesta ini mempunyai idea. Idea yang dimaksud oleh
Plato adalah definisi atau konsep yang menyeluruh dari tiap sesuatu. Idea
inilah yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu.
Idea-idea itu berada di balik yang nyata dan idea itulah yang abadi.
Benda-benda yang terlihat yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa
berubah. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera
ini hanyalah khayal dan ilusi belaka.[5]
Sementara
itu, secara istilah dalam kajian filsafat, terdapat sejumlah pengertian umum
tentang ontologi, yakni: pertama, studi tentang ciri-ciri inti dari yang
ada dalam dirinya sendiri yang berada dari studi tentang hal-hal yang ada
secara khusus. Dalam mempelajari yang ada dalam bentuknya yang sangat abstrak
studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti:”Apa itu
ada-dalam-dirinya-sendiri?” “Apa hakikat ada sebagai ada?”. Kedua, cabang
filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin,
yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, nyata/tampak,
perubahan, waktu, eksistensi/noneksistensi, esensi, dan keniscayaan. Ketiga,
cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat ada, menunjukkan bahwa
segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya, dan menghubungkan pikiran dan
tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan
realitas tertentu. Keempat, cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan
“Apa arti ada dan berada?, dengan menganalisis bermacam-macam makna yang
memungkinkan hal-hal dapat dikatakan ‘ada dan berada’. Kelima, cabang
filsafat yang menyelidiki status realitas suatu hal, menyelidiki jenis realitas
yang dimiliki hal-hal, dan yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang
kita sebut realitas dan ilusi.[6]
Dengan alasan itulah, karena begitu
luasnya kajian ontologi, terdapat berbagai aliran ontologi dalam menguraikan
hakikat kenyataan. Bermacam-macam aliran ontologi dalam menyusun atau membangun
realitas tersebut sesuai dengan pola pikir mereka masing-masing.[7]
B.
Aliran-aliran yang ada dalam Ontologi
1. Aliran Monoisme
Istilah monisme berasal
dari bahasa Yunani monos yang berarti tunggal atau sendiri.[8]
Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Paham monoisme kemudian terbagi menjadi
ke dalam dua aliran, yaitu aliran materialisme dan aliran idealisme. Aliran
materialisme menolak hal-hal yang tidak terlihat. Bagi materialisme, ada yang
sesungguhnya adalah yang keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama
sekali bergantung pada benda. Berbeda dengan aliran materialisme, menurut
aliran idealisme semuanya serba ide atau roh. Aliran ini menganggap bahwa
hakikat segala sesuatu yang ada berasal dari roh, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan tidak menepati ruang.[9]
2. Aliran Dualisme
Istilah dualisme berasal dari bahasa
Latin, dualis yang berarti bersifat dua.[10]
Aliran dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang
saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme
materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena
adanya ruh, begitu pun run muncul bukan karena materi. Aliran dualisme
memandang bahwa alam terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya.[11]
3. Aliran
Pluralisme
Istilah pluralisme berasal dari bahasa
Latin pluralis yang berarti jamak atau plural.[12]
Paham pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas.[13]
4. Nihilisme
Istilah nihilisme berasal dari bahasa
latin yang secara harfiah berarti tidak ada atau ketiadaan. Secara umum,
nihilisme berarti pandangan bahwa keberadaan dan hidup didunia sama sekali
tidak berarti dan sama sekali tidak bermanfaat. Dalam masyarakat, nihilisme
berarti kepercayaan dan ajaran bahwa keadaan masyarakat sudah demikian buruk.
Secara filsofis, nihilisme berkeyakinan bahwa yang ada itu tidak ada, dan bila
ada, tidak dapat diketahui. Dari keyakinan, nihilisme juga menyangkal adanya
kebenaran apapun, dan bila ada, menurutnya juga tidak dapat dibuktikan.[14]
5.
Agnotisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia
untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani.[15]
Dari berbagai pengertian, secara umum agnotisisme paling tidak terbagi dalam
dua wacana besar. Pertama, paham yang berhubungan dengan wacana
ketuhanan. Agnotisisme mengklaim bahwa
manusia tidak pernah mampu untuk mengetahui hakikat keberadaan Tuhan. Sehingga
manusia tidak akan pernah bisa memberi kepastian apakah keberadaan Tuhan itu
ada atau tidak. Hal ini disebabkan oleh faktor kelemahan diri manusia sendiri
dalam menggambarkan keberadaan Tuhan. Kedua, paham yang berhubungan
dengan realitas segala sesuatu. Dalam hal ini, agnotisisme menyatakan bahwa
manusia tidak mungkin mampu mengetahui hakikat sesuatu yang berada di balik
realitas. Alam semesta dengan segala
pernak-perniknya tidak akan pernah terkuak hakikat pengertiannya oleh manusia.
Menurut agnotisisme, pengetahuan manusia sangat terbatas, sehingga tidak
mungkin manusia bisa mengetahui hakikat segala sesuatu atau realitas alam semesta, baik melalui
pancaindranya maupun melalui kemampuan penalarannya.[16]
C. Objek Kajian Ontologi
Objek kajian ontologi adalah yang ada, yaitu
ada individu, ada umum, ada terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada
mutlak, termasuk kosmologi dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun
segala sumber yang ada, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, pencipta serta pengatur
serta penentu alam semesta. Studi tentang yang ada, pada tataran studi filsafat
pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak
digunakan ketika membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. [17]
Objek
formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kualitatif,
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, kajiannya akan menjadi kajian
monisme, paralelisme, atau pluralisme. Bagi pendekatan kualitatif
realitas akan menjadi aliran materialisme, idea-lisme, naturalisme, atau
hilomorphisme.[18]
1. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkat
abstraksi dalam ontologi, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan
abstraksi metafisik. Abstraksi fisik menampilkan kesuluruhan sifat khas sesuatu
objek; abstraksi bentuk mendeskripsikan metafisik mengenai prinsip umum menjadi
yang dasar dari semua realitas. Abstraksi yang di jangkau ontologi adalah
abstraksi metafisik. Metode pembuktikan dalam ontologi oleh Lorens Bagus
dibedakan menjadi dua yaitu: pembuktian apriori
pembuktian a posteriori.[19]
2.
Metafisika
Metafisika merupakan
cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang
berada diluar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara
komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi(2005: 14), metafisika merupakan cabang
filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat ‘keluarbiasaan’ (beyond nature), yang berda diluar
pengalaman manusia (immediate
experience). Menurut Achmadi, metafisika mengkaji sesuatu yang berada diluar
hal-hal yang biasa yang berlaku pada umumnya (keluarbiasaan), atau hal-hal yang
tidak alami, serta hal-hal yang berada diluar kebiasaan atau diluar pengalaman
manusia.[20]
a.
Metafisika Plato
Menurut Plato “idea” ada terlepas dan
bendanya. Apa yang kita pegang atau lihat hanyalah bayang-bayang refleksi kita.
Plato termasuk filosof idealist.
b. Metafisika Aristoteles
Aristoteles memandang bahwa “orang” atau
“kuda” karena pada bendanya memiliki sifat “orang” atau “kuda”. Aristoteles
termasuk materialist.
c. Metafisika Neoplatonis
Metafisika Neoplatonis banyak menggunakan
interpretasi religius. Tokohnya: Plotinus dalam Islam Al Kindi, Al Farabi, dan
Ibnu Sina. Kebenaran “idee” yang universal pda plato, dalam pandangan
neoplatonis ditampilkan dalam sosok Tuhan.[21]
3. Asumsi
Pendapat yang
telah didukung oleh beberapa teori dan fakta yang dapat dibuktikan secara
rasional. Berkenaan dengan pengkajian konsep-konsep, pengandaian-pengandaian.
Dengan demikian, filsafat ilmu erat kaitannya dengan pengkajian analisis
konseptual dan bahasa yang digunakannya, dan juga dengan perluasan serta
penyusunan cara-cara yang lebih umum dan
lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.[22]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ontologi
merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada.
Dalam persoalan ontologi orang menghadapi masalah bagaimanakah menerangkan
hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan dengan adanya
dua kenyataan. Pertama, kenyataan yang berupa materi (kebendaan), dan kedua,
kenyataan yang berupa rohani (kenyataan). Manusia memiliki dua sumber ilmu,
yaitu ilmu lahir dan ilmu batin. Jika demikian, cukup jelas, ontologi adalah
cabang filsafat ilmu yang mencoba mencermati hakikat keilmuan. Membahas ilmu
dari dasar keilmuan, bentuk ilmu, wajah ilmu, dan bandingan-bandingan ilmu dengan
yang lain akan menuntun manusia berpikir antologisme. Dengan alasan itulah,
karena begitu luasnya kajian ontologi, terdapat berbagai aliran ontologi dalam
menguraikan hakikat kenyataan. Bermacam-macam aliran ontologi dalam menyusun
atau membangun realitas tersebut sesuai dengan pola pikir mereka masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010
Endraswara, Suwardi, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: CAPS, 2015
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013
Muhadjir,Noeng Filsafat Ilmu,Yogyakarta: Rake Sarasen, 2015
Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2014
Zaprulkhan, Filsafat
Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015
[1] Suwardi
Endraswara, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: CAPS, 2015), hlm. 90
[2] Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2014), hlm. 90
[3] Suwardi
Endraswara, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: CAPS, 2015), hlm. 90-91
[4] Jalaluddin, Filsafat
Ilmu Pengetahuan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm159
[5] Mohammad Adib, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 70-71
[6] Zaprulkhan, Filsafat
Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015),
hlm 49-50
[7] Zaprulkhan, Filsafat
Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, hlm
50
[8] Zaprulkhan,
Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 50
[9] Susanto,
Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, 94
[10] Zaprulkhan,
Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 51
[11] Susanto,
Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, hlm 96
[12] Zaprulkhan,
Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, 53
[13] Susanto,
Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis,
hlm 97
[14] Susanto,Filsafat
Ilmu, hlm 59-60
[15] Suwardi
Endraswara, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: CAPS, 2015), hlm. 101
[16] Zaprulkhan, Filsafat
Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015),
hlm 61
[17] Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2014), hlm. 91
[18]Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2014), hlm. 92
[19] Susanto, Filsafat
Ilmu, hlm. 92
[20]Susanto, Filsafat
ilmu, hlm. 92
[21] Noeng Muhadjir,
Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasen, 2015), hlm 78-79
[22] Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2014), hlm. 94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar