Selasa, 29 November 2016

Pembinaan Akhlak dalam sudut pandang Tasawuf



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Pada abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral  ditengah terjadinya kemunduran moral yang berkembang saat itu sehingga ditangan mereka tasawuf pun berkembang menjadi  ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka  tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlak.
            Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan oleh semua orang. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksikan ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya, mereka menanamkan kembali akhlak mulia. Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak.
            Dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk membuat makalah yang berjudul pembinaan akhlak berdasarkan persfektif tasawuf.
B. Rumusan Masalah
            Rumusan masalah dalam makalah ini adalah : bagaimana pembinaan akhlak berdasarkan persfektif tasawuf ?
C. Tujuan                                                          
            Tujuan penulisan makalah ini untuk menjelaskan bagaimana pembinaan akhlak berdasarkan persfektif tasawuf.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembinaan Akhlak dalam sudut pandang Tasawuf
Ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Ilmu akhlak juga merupakan ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka. Jadi, dapat dirumuskan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang membahas perbuatan manusia dan mengajarkan perbuatan baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk sekelilingnya dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai moral.[1]
    1. Perbaikan Akhlak
Tasawuf akhlaqi adalah taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada upaya menghindarkan diri pada akhlak yang tercela (mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (mahmudah) di dalam diri. Di dalam diri manusia ada potensi-potensi dan juga kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut dengan fithrah yang cenderung mengarahkan kepada kebaikan. Ada yang disebut dengan nafsu yang cenderung mengarah ke keburukan.[2]
* !$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ  
53. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih.[3] Menurut para sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya. Manusia selalu dikendalikan oleh nafsunya bukan yang mengendalikannya. Jika manusia telah dikendalikan oleh nafsunya maka dia seakan-akan telah mempertuhankan nafsunya tersebut. Diri seseorang yang sudah dikuasai oleh nafsunya tersebut akan timbul berbagai macam penyakit dalam dirinya, seperti: sombong, membanggakan diri, riya, buruk sangka, hasad, kikir dan sebagainya. Penyakit-penyakit yang ada di dalam diri ini disebut oleh kaum sufi sebagai maksiat batin.[4]
Firman Allah dalam Qur’an surah Al-Kahfi ayat 110,
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ    
110. Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
                Sejalan dengan itu berbagai  maksiat lahir yaitu maksiat yang dilakukan oleh anggota lahiriyyah, seperti mulut, mata, tangan, dan kaki akan bermunculan pada diri  seseorang, sehingga ia memilik akhlak yang tercela. Kehidupannya lebih kenal kepada kehidupan duniawi, kemegahan,  kepopuleran, kekayaan, dan kekuasaan. Berleluasanya nafsu dalam diri seseorang mengakibatkan timbulnya berbagai maksiat batin dan lahir, kecintaan kepada kehidupan dunia, dalam pandangan kaum sufi merupakan penghalang bagi seseorang untuk dekat dengan Tuhannya.[5]
             Untuk mencapai  tingkat kesucian dan kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan pendidikan dan pelatihan mental yang panjang. Oleh karena itu, pada tahap pertama teori dan amalan tasawuf dirumuskan dalam bentuk pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat. Dengan kata lain, untuk berada di hadirat Allah dan sekaligus mencapai tingkat kebahagiaan yang paling tinggi, manusia harus lebih mengidentifikasikan keberadaan dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia.[6]
             Maka untuk mencapai tujuan itu perlu membutuhkan latihan-latihan dan perjuangan, perjuangan untuk membersihkan diri, perjuangan memperbaiki akhlak secara terus-menerus dan dalam menyembah Tuhan secara terus-menerus sampai akhir hayat. Firman Allah dalam Qur’an surah Al-Hijr ayat 99 :
ôç6ôã$#ur y7­/u 4Ó®Lym y7uÏ?ù'tƒ ÚúüÉ)uø9$# ÇÒÒÈ  
99. Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).[7]
         Menurut Imam Al-Ghazali dalam salah satu karyanya, Al-Munqizh Minadh Dhalal. “kaum sufi adalah orang-orang yang berada di jalan Allah secara khusus. Jalan mereka adalah jalan yang terbaik. Cara mereka adalah cara yang terbenar. Akhlak mereka adalah akhlak yang tersuci. Bahkan jika pikiran para cendekiawan, hikmah para ahli hikmah dan pengetahuan para ulama yang mengetahui rahasia-rahasia syariat dikumpulkan untuk mengubah jalan dan akhlak kaum sufi serta menggantinya dengan yang lebih baik, mereka tidak akan menemukan jalan untuk itu.”[8]
2. Sabar
       Menurut Imam Al-Ghazali, yang dinamakan sabar adalah meninggalkan segala macam pekerjaan yang digerakkan oleh hawa nafsu, tetap pada pendirian agama yang mungkin bertentangan dengan kehendak hawa nafsu, semata-mata karena menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat. Sabar itu juga merupakan jihad/perjuangan untuk menghadapi hawa nafsu untuk kembali pulang kepada Tuhan.[9]
       Dalam menghadapi keadaan seperti itu, maka sifat sabar menjadi berat. Firman Allah dalam surah  Al-Baqarah ayat 45-46:
     (#qãZŠÏètFó$#ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûüÏèϱ»sƒø:$# ÇÍÎÈ   tûïÏ%©!$# tbqZÝàtƒ Nåk¨Xr& (#qà)»n=B öNÍkÍh5u öNßg¯Rr&ur Ïmøs9Î) tbqãèÅ_ºu ÇÍÏÈ  
45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',
46. (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
          Mengetahui sesuatu kewajiban saja tidak cukup untuk dapat dikerjakan  tanpa adanya kesabaran dan sebaliknya mengetahui sesuatu  larangan belum tentu dapat meninggalkannya tanpa adanya kesabaran. Misalnya dalam melaksanakan ibadat seperti: shalat, puasa, zakat dan Haji sangat memerlukan kesabaran. Mengerjakan shalat 5 kali sehari adalah mendidik diri pribadi membiasakan “sabar” menjadi kebiasaan sehari-hari menjalankan kewajiban Agama  menuntut keridhaan Allah. Sabar dan shalat banyak mengandung hikmah antara lain: taat, patuh, setia, bertanggung jawab, menepati janji, menghargai waktu, jujur, bertaqwa kepada Allah. Sifat-sifat seperti itu,  adalah sifat-sifat yang terpuji dan apabila itu menjadi kebiasaan dalam melakukan  tugas-tugas kewajiban dalam pembangunan duniawi, maka akan sangat berguna dipakai  dalam membina manusia agar bisa sukses dalam kehidupannya.[10]
3. Syukur
       Untuk mencapai tingkat  dalam perbaikan akhlak, kaum sufi mengajarkan sifat syukur atau berterima kasih kepada Tuhan atas segala nikmat  pemberian Allah. Orang yang tidak tahu bersyukur/berterima kasih atas nikmat yang diperolehnya, maka kesusahanlah yang akan menyertainya. Syukur itu adalah sifat yang terpuji dan dipujioleh Allah, sedang “kufur” atau tidak mensyukuri  nikmat Tuhan adalah sifat yang tidak  disukai  oleh Allah. Adapun arti syukur, ialah keadaan seseorang mempergunakan nikmat yang diberikan oleh Allah itu kepada kebajikan. Misalnya tangan digunakan untuk mencari rezeki yang halal. Akal digunakan untuk mencari ilmu yang berguna bagi sesama makhluk. Diri untuk beribadat kepada Tuhan dan berbakti kepada masyarakat dan tanah air. Menyalah gunakan segala nikmat  yang diberikan oleh Tuhan kepada seseorang, berarti kejahatan besar.[11]           Firman Allah dalam Qur’an surah Ibrahim ayat 7:
øŒÎ)ur šc©Œr's? öNä3š/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyƒÎV{ ( ûÈõs9ur ÷LänöxÿŸ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓƒÏt±s9 ÇÐÈ  
7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
4. Ridha Bil Qadha
               Manusia merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya, seperti: kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, pangkat, kedudukan, kematian dan lain-lain yang dapat mengurangi kesenangannya. Yang dapat bertahan dalam kesukaran-kesukaran seperti itu, hanyalah orang-orang yang  telah mempunyai sifat “ridha” artinya rela menerima dengan apa yang  telah ditentukan dan ditakdirkan Tuhan kepadanya. Rela berjuang atas jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, pikiran, atau jiwa sekalipun, semua itu, bagi kaum sufi  dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan dianggap sebagai ibadat semata-mata menuntut keridhaan Allah. Orang-orang yang sudah memiliki sifat ridha itu, tidak  mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dialaminya, tidak merasa menyesal dalam hidup kekurangan, tidak  iri  hati atas kelebihan-kelebihan yang telah didapat, karena mereka  kuat berpegang kepada aqidah dan iman kepada qadha dan qadhar yang semuanya itu  dari Tuhan.[12]  





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
       Tasawuf mendidik seseorang pertama-tama dengan perbaikan akhlak dengan lebih dahulu membekali sifat-sifat terpuji, seperti: sabar, syukur, dan ridha untuk membawa setingkat ketingkat yang lebih tinggi. Sabar, syukur, dan ridha adalah tiga sifat yang terpuji yang sangat bernilai tinggi, dapat membawa orang kepada ketinggian budi pekerti, akhlak dan merupakan kekuatan yang dapat menolong untuk berkemauan keras, berjiwa besar dan bertanggung jawab. Maka oleh karena itu, orang-orang yang telah  memiliki didikan tasawuf dapatlah dipercaya bahwa ia tidak akan menyalah gunakan nikmat dan amanat Allah yang dipercayakan kepadanya.












DAFTAR PUSTAKA
Al Qalami, Al fazar, Ringkasan Ihya’ Ulumiddin Imam Al Ghazali, Surabaya: Gitamedia Press, 2003
Anwar, Rosihan dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000
Jamil, M, Cakrawala Tasawuf, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007
Zahri mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2016





[1] Abu Fazar Al Qalami, Ringkasan Ihya’ Ulumiddin Imam Al Ghazali, (Surabaya: Gitamedia Press, 2003), hlm 5
[2] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm 36
[3] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 67
[4]  M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm 36-37

[5] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm 37
[6] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm 55
[7] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 67-68
[8] Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2016), hlm  127
[9] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 68
[10] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 69
[11] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, hlm 71
[12] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 71-72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar