BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad ketiga Hijriyah, para sufi
mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah
laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya
menegakkan moral ditengah terjadinya
kemunduran moral yang berkembang saat itu sehingga ditangan mereka tasawuf pun
berkembang menjadi ilmu moral keagamaan
atau ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan mereka
tentang moral, akhirnya, mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang
berkaitan dengan akhlak.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak
ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah
dipraktekkan oleh semua orang. Oleh karena itu, ketika mereka menyaksikan
ketidakberesan perilaku (akhlak) di sekitarnya, mereka menanamkan kembali
akhlak mulia. Pada masa ini tasawuf identik dengan akhlak.
Dari latar belakang tersebut penulis
tertarik untuk membuat makalah yang berjudul pembinaan akhlak berdasarkan
persfektif tasawuf.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah : bagaimana pembinaan akhlak berdasarkan
persfektif tasawuf ?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini untuk
menjelaskan bagaimana pembinaan akhlak berdasarkan persfektif tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembinaan Akhlak dalam sudut pandang Tasawuf
Ilmu akhlak
adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji
dan yang tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.
Ilmu akhlak juga merupakan ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang
baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan
mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka. Jadi, dapat
dirumuskan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu yang membahas perbuatan manusia dan
mengajarkan perbuatan baik yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus
dihindari dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk sekelilingnya
dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai moral.[1]
1. Perbaikan Akhlak
Tasawuf akhlaqi
adalah taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Tasawuf bentuk ini
berkonsentrasi pada upaya menghindarkan diri pada akhlak yang tercela (mazmumah)
sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (mahmudah) di dalam diri. Di
dalam diri manusia ada potensi-potensi dan juga kekuatan-kekuatan. Ada yang
disebut dengan fithrah yang cenderung mengarahkan kepada kebaikan. Ada
yang disebut dengan nafsu yang cenderung mengarah ke keburukan.[2]
* !$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ wÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÎÌÈ
53.
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Tujuan
perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa
nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih.[3]
Menurut para sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya. Manusia selalu dikendalikan
oleh nafsunya bukan yang mengendalikannya. Jika manusia telah dikendalikan oleh
nafsunya maka dia seakan-akan telah mempertuhankan nafsunya tersebut. Diri
seseorang yang sudah dikuasai oleh nafsunya tersebut akan timbul berbagai macam
penyakit dalam dirinya, seperti: sombong, membanggakan diri, riya, buruk
sangka, hasad, kikir dan sebagainya. Penyakit-penyakit yang ada di dalam diri
ini disebut oleh kaum sufi sebagai maksiat batin.[4]
Firman Allah dalam Qur’an surah Al-Kahfi ayat 110,
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_öt uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
110.
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya".
Sejalan dengan itu berbagai maksiat lahir yaitu maksiat yang dilakukan
oleh anggota lahiriyyah, seperti mulut, mata, tangan, dan kaki akan bermunculan
pada diri seseorang, sehingga ia memilik
akhlak yang tercela. Kehidupannya lebih kenal kepada kehidupan duniawi,
kemegahan, kepopuleran, kekayaan, dan
kekuasaan. Berleluasanya nafsu dalam diri seseorang mengakibatkan timbulnya
berbagai maksiat batin dan lahir, kecintaan kepada kehidupan dunia, dalam
pandangan kaum sufi merupakan penghalang bagi seseorang untuk dekat dengan
Tuhannya.[5]
Untuk
mencapai tingkat kesucian dan
kesempurnaan dan kesucian, jiwa memerlukan pendidikan dan pelatihan mental yang
panjang. Oleh karena itu, pada tahap pertama teori dan amalan tasawuf
dirumuskan dalam bentuk pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku
yang ketat. Dengan kata lain, untuk berada di hadirat Allah dan sekaligus
mencapai tingkat kebahagiaan yang paling tinggi, manusia harus lebih
mengidentifikasikan keberadaan dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui
penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral
paripurna dan berakhlak mulia.[6]
Maka
untuk mencapai tujuan itu perlu membutuhkan latihan-latihan dan perjuangan,
perjuangan untuk membersihkan diri, perjuangan memperbaiki akhlak secara
terus-menerus dan dalam menyembah Tuhan secara terus-menerus sampai akhir
hayat. Firman Allah dalam Qur’an surah Al-Hijr ayat 99 :
ôç6ôã$#ur y7/u 4Ó®Lym y7uÏ?ù't ÚúüÉ)uø9$# ÇÒÒÈ
99. Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini
(ajal).[7]
Menurut Imam Al-Ghazali dalam salah
satu karyanya, Al-Munqizh Minadh Dhalal. “kaum sufi adalah orang-orang
yang berada di jalan Allah secara khusus. Jalan mereka adalah jalan yang
terbaik. Cara mereka adalah cara yang terbenar. Akhlak mereka adalah akhlak
yang tersuci. Bahkan jika pikiran para cendekiawan, hikmah para ahli hikmah dan
pengetahuan para ulama yang mengetahui rahasia-rahasia syariat dikumpulkan
untuk mengubah jalan dan akhlak kaum sufi serta menggantinya dengan yang lebih
baik, mereka tidak akan menemukan jalan untuk itu.”[8]
2. Sabar
Menurut Imam Al-Ghazali, yang dinamakan
sabar adalah meninggalkan segala macam pekerjaan yang digerakkan oleh hawa
nafsu, tetap pada pendirian agama yang mungkin bertentangan dengan kehendak
hawa nafsu, semata-mata karena menghendaki kebahagiaan dunia dan akhirat. Sabar
itu juga merupakan jihad/perjuangan untuk menghadapi hawa nafsu untuk kembali
pulang kepada Tuhan.[9]
Dalam menghadapi keadaan seperti itu,
maka sifat sabar menjadi berat. Firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 45-46:
(#qãZÏètFó$#ur Îö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouÎ7s3s9 wÎ) n?tã tûüÏèϱ»sø:$# ÇÍÎÈ tûïÏ%©!$# tbqZÝàt Nåk¨Xr& (#qà)»n=B öNÍkÍh5u öNßg¯Rr&ur Ïmøs9Î) tbqãèÅ_ºu ÇÍÏÈ
45.
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',
46. (yaitu) orang-orang yang
meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Mengetahui sesuatu kewajiban saja tidak cukup untuk dapat
dikerjakan tanpa adanya kesabaran dan
sebaliknya mengetahui sesuatu larangan
belum tentu dapat meninggalkannya tanpa adanya kesabaran. Misalnya dalam
melaksanakan ibadat seperti: shalat, puasa, zakat dan Haji sangat memerlukan
kesabaran. Mengerjakan shalat 5 kali sehari adalah mendidik diri pribadi
membiasakan “sabar” menjadi kebiasaan sehari-hari menjalankan kewajiban
Agama menuntut keridhaan Allah. Sabar
dan shalat banyak mengandung hikmah antara lain: taat, patuh, setia,
bertanggung jawab, menepati janji, menghargai waktu, jujur, bertaqwa kepada
Allah. Sifat-sifat seperti itu, adalah
sifat-sifat yang terpuji dan apabila itu menjadi kebiasaan dalam melakukan tugas-tugas kewajiban dalam pembangunan
duniawi, maka akan sangat berguna dipakai
dalam membina manusia agar bisa sukses dalam kehidupannya.[10]
3.
Syukur
Untuk mencapai tingkat dalam perbaikan akhlak, kaum sufi mengajarkan
sifat syukur atau berterima kasih kepada Tuhan atas segala nikmat pemberian Allah. Orang yang tidak tahu
bersyukur/berterima kasih atas nikmat yang diperolehnya, maka kesusahanlah yang
akan menyertainya. Syukur itu adalah sifat yang terpuji dan dipujioleh Allah,
sedang “kufur” atau tidak mensyukuri
nikmat Tuhan adalah sifat yang tidak
disukai oleh Allah. Adapun arti
syukur, ialah keadaan seseorang mempergunakan nikmat yang diberikan oleh Allah
itu kepada kebajikan. Misalnya tangan digunakan untuk mencari rezeki yang
halal. Akal digunakan untuk mencari ilmu yang berguna bagi sesama makhluk. Diri
untuk beribadat kepada Tuhan dan berbakti kepada masyarakat dan tanah air.
Menyalah gunakan segala nikmat yang
diberikan oleh Tuhan kepada seseorang, berarti kejahatan besar.[11]
Firman Allah dalam Qur’an surah Ibrahim
ayat 7:
øÎ)ur c©r's? öNä3/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyÎV{ ( ûÈõs9ur ÷Länöxÿ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓÏt±s9 ÇÐÈ
7. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih".
4. Ridha Bil Qadha
Manusia merasa
sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya, seperti: kemiskinan,
kerugian, kehilangan barang, pangkat, kedudukan, kematian dan lain-lain yang
dapat mengurangi kesenangannya. Yang dapat bertahan dalam kesukaran-kesukaran
seperti itu, hanyalah orang-orang yang
telah mempunyai sifat “ridha” artinya rela menerima dengan apa yang telah ditentukan dan ditakdirkan Tuhan
kepadanya. Rela berjuang atas jalan Allah, rela menghadapi segala kesukaran,
rela membela kebenaran, rela berkorban harta, pikiran, atau jiwa sekalipun,
semua itu, bagi kaum sufi dipandang
sebagai sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang bernilai tinggi bahkan
dianggap sebagai ibadat semata-mata menuntut keridhaan Allah. Orang-orang yang
sudah memiliki sifat ridha itu, tidak
mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang dialaminya, tidak merasa
menyesal dalam hidup kekurangan, tidak
iri hati atas kelebihan-kelebihan
yang telah didapat, karena mereka kuat
berpegang kepada aqidah dan iman kepada qadha dan qadhar yang semuanya itu dari Tuhan.[12]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf mendidik seseorang pertama-tama
dengan perbaikan akhlak dengan lebih dahulu membekali sifat-sifat terpuji,
seperti: sabar, syukur, dan ridha untuk membawa setingkat ketingkat yang lebih
tinggi. Sabar, syukur, dan ridha adalah tiga sifat yang terpuji yang sangat
bernilai tinggi, dapat membawa orang kepada ketinggian budi pekerti, akhlak dan
merupakan kekuatan yang dapat menolong untuk berkemauan keras, berjiwa besar
dan bertanggung jawab. Maka oleh karena itu, orang-orang yang telah memiliki didikan tasawuf dapatlah dipercaya
bahwa ia tidak akan menyalah gunakan nikmat dan amanat Allah yang dipercayakan
kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qalami, Al fazar, Ringkasan
Ihya’ Ulumiddin Imam Al Ghazali, Surabaya: Gitamedia Press, 2003
Anwar, Rosihan
dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000
Jamil, M, Cakrawala
Tasawuf, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007
Zahri mustafa, Kunci Memahami
Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah
Kajian Tematik, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2016
[1] Abu Fazar Al
Qalami, Ringkasan Ihya’ Ulumiddin Imam Al Ghazali, (Surabaya: Gitamedia
Press, 2003), hlm 5
[2] M. Jamil, Cakrawala
Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm 36
[3] Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 67
[5] M. Jamil, Cakrawala
Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm 37
[6] Rosihon Anwar
dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
hlm 55
[7] Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 67-68
[8] Zaprulkhan, Ilmu
Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2016), hlm 127
[9] Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 68
[10] Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 69
[11] Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, hlm 71
[12] Mustafa Zahri, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm 71-72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar